Luka, luka, luka … Diulangnya ribuan kali hingga kata itu tak lagi bermakna .. Dan ketika rasa itu mulai bernama … Mana yang harus dipilihnya ? Mengungkapkannya ? atau sanggupkah
ia melepasnya ?
*
Sebuah Volvo hitam merangkak pelan, seiring alur kemacetan petang kota Jakarta yang
menggila. Patton menghela nafas panjang, lalu menyentuh pedal rem di kakinya.
Menyesali kebodohannya memilih jalan besar sebagai rute pulang. Padahal ia tahu
beberapa jalan tikus yang bias ditempuhnya dari tempat gadis yang baru ia antar
pulang itu, tinggal.
Ya, Shilla. Patton hampir terkejut menyadari dampak nama itu pada kecepatan detak jantungnya belakangan ini. Menyadari dampak suasana hati yang terbawa kemana-mana hingga Mamanya
bertanya ada apa dengan dirinya. Mencemaskan anaknya memakai nikotin atau
barang apa hingga terus tersenyum seperti orang gila.
Patton hampir tertawa sendiri lagi, lalu tiba tiba menyadari bagaimana orang luar melihat dirinya. Mungkin dia memang aneh. Patton menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu menatap
jok di sebelahnya. Jok yang sudah di dudukioleh gadis yang menghantui sudut
pikirannya selama hampir tiga minggu terakhir.
Hampir tiga minggu setelah pesta Ify berakhir. Hampir tiga minggu sejak pertemuan pertama itu. Hampir tiga minggu Patton bersedia mengantar jemput Shilla (mengabaikan ejekan
Ify dan Deva seputar ‘sopir pribadi’). Hampir tiga minggu ada yang selalu
tertawa di sampingnya.
Tapi .. Patton mulai berpikir .. serenyah apapun tawa itu, Ia takkan pernah melupakan saat saat hening yang sebenarnya jarang terjadi, namun selalu sangat mencemaskan jika
berlangsung. Saat Shilla menatap keluar jendela, entah memandang apa. Tatapan
yang selalu mengingatkannya pada air mata Shilla, yang jatuh pada hari yang
bersamaan dengan pertemuan pertama mereka. Patton tidak perlu penjelasan
mendetil untuk tahu siapa yang sedang direnungi Shilla.
Sesubgguhnya pula, Hampir tiga minggu sudah, Patton menyayangi gadis itu.
Patton memejamkan mata sejenak. Ingatannya melayang pada pejelasa-mendetil-yang-tidak-perlu-karena-Patton-sudah-tahu yang dikisahkan Shilla suatu saat. Penjelasan gadis itu tentang siapa yang
mengusik perasaannya, membuat hatinya berteka-teki tak pasti, teka-teki yang
tak mampu di urainya sendiri. Rio.
Entah gadis itu terlalu naïf atau sedang berusaha membohongi dirinya sendiri. Karena seharusnya orang paling bodoh pun tahu apa yang sedang dirasa Shilla sebenarnya.
Patton tidak menanggapi saat Shilla bercerita tentangnya. Ia tidak mau menjawab dan tidak berharap dimintai jawaban. Setengah dirinya seperti berteriak agar gadis bodoh
yang disayanginya itu menyelesaikan teka-tekinya sendiri. Namun setengah
dirinya yang lain juga berbisik, berharap dalam gelap, agar gadis itu tak perlu
mengurai sang teka-teki dan perlahan melupakan perasaan itu karena kehadiran
Patton di harinya. Karena Patton tahu, sadar atau tidak, hanya Rio yang ada di mata gadis itu.
Patton menghela nafas, terusik kebisuan yang terlalu mencekam, ia memutuskan menyalakan radio di dashboard mobilnya. Hela nafasnya merileks, mendengarkan penyiar favoritnya
sedang bercuap cuap mengenai gossip salah satu penyanyi muda Amerika yang
sedang naik daun, Taylor Swift.
“eniwei .. daripada gua ngomongin gossip mulu ya, Bo .. mending gua puterin salah satu lagu favorit gua dari si eneng ini .. Check it out .. Invisible from Taylor Swift .. stay
tune on one-o-one point forty five, Truk FM ..”
Suara bawel si penyiar mulai mengecil seiring intro lagu yang berkumandang. Patton mengetukkan jarinya ke setir. Ia belum pernah mendengar lagu penyanyi blondie itu yang ini.
Pattton berusaha membunuh kebosanan menunggu kemacetan dengan mencoba menyerapi isi lagunya dan ia tercekat saat mendapati bagian akhir refrain yang jika dirubah gender
subjeknya akan sesuai dengna keadaannya kini.
“ … he never gonna love you like I want to …
You just see right through me ..
But if you only knew me ..
We could be a beautiful miracle unbelievable
Instead of just Invisible ..”
Invisible.
Patton mendecakkan lidahnya. Begitukah dirinya sebenarnya selama ini ? invisible ? tidak terlihat ? tidak terlihat bahkan saat ia hanya berada sejauh nafas dengan gadis itu ?
tidak terlihat bukan dalam arti fisik ..
Lalu dia apa ? semacam bayangan yang bisa berbicara ?
Pikiran getir Patton dipecahkan unyi menjerit-jerit di sebelahnya. Patton meraih ponselnya lalu menekan tombol ‘yes’.
“yoa .. kenapa ki ? … iya lagi dijalan … iye, napa ?” Patton sempat heran kenapa ketua OSIS sekolahnya menghubunginya tiba-tiba.
“Oooh .. mau survey ? gue ikut ? hmm …. Kemana ? Cimacan ? … buset … terus kumpul jam berapa ? lima ? pagi ? .. oh yodah .. yok, bye ..”
Patton memutuskan pembicaraan, lalu meletakkan kembali ponselnya. Ia menghela nafas. Baru saja, Kiki mengajaknya (sekaligus meminjam mobilnya) menyurvey lokasi perkemahan
sehari untuk kegiatan sekolah mereka di daerah Jawa Barat, besok pagi.
Berarti .. pikir Patton, sambil melajukan mobilnya perlahan .. besok ia mungkin tidak bisa menjemput Shilla.
Patton mendesah. Mungkin ada baiknya ia abstain sehari saja dari hadapan Shilla. Mungkin tak ada salahnya berharap dengan ketidakhadiran dirinya, Shilla bisa melihatnya secara
jelas.
Karena mungkin .. simpul Patton .. tak selamanya kehadiran fisik, membuat orang lain menyadari kita ada.
*
Gadis itu berada di dalam cermin, bukan di balik kaca. Hingga Rio tak bisa meraih gadis itu di baliknya. Gadis itu berada di dunia bayangan. Sehingga Rio hanya bisa
memandanginya dari kejauhan. Dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Meskipun tahu, dengan meneruskan topeng dinginnya akan membuat Shilla menjadi sosok bayangan yang makin kabur. Rio tetap pada pendiriannya itu. Entah
kenapa, mungkin otaknya sedang berada di frekuensi yang salah. Ia memutuskan
mempertahankan sekaligus tetap mengenakan wajah tiruannya. Apa yang bisa lebih
kacau dari itu ?
Karena keputusannya, ia terpaksa menelan bulat-bulat kekecewaannya akan kenyataan bahwa ada seseorang yang sedang berusaha menggapai gadis bayangannya dan hampir
mendapatkannya. Dan, ia pun tahu orang yang sama itu juga berada dalam dunia
yang sama, dunia dalam cermin, berada satu frame dengan gadis bayangannya.
Sementara ia berlakon sendiri, memelototi dari dunia nyata. Dan tidak bisa
berbuat apa-apa.
Rio berusaha bersikap tak acuh walau sebenarnya ia ingin sekali melindas Volvo hitam sialan itu sekaligus pemiliknya dengan tank baja. Terkadang memandangi secara nyata pun
cukup sulit. Ia harus mengintip diam-diam, mengintip dari sela tirai jendela,
mengintip dengar dari pembicaraan orang lain tentang sosok bayangan itu. Ia
juga berusaha keras mengabaikan kenyataan bahwa Shilla selalu menatap nanar
kearah Volvo hitam yang melaju menjauh setelah mengantarkannya, membuat Rio ketar ketir setengah mati sesudahnya.
Menyedihkan, tapi adalah konsekuensi dari apa yang diputuskannya. Seperti tema film klise remaja Amerika yang bertahun tahun menggentayangi Hollywood,
seperti bab pertama buku MMJ karangan Raditya Dika, Rio
menjadi seperti sosok yang jatuh cinta diam-diam, dan – lagi-lagi – tidak bisa
berbuat apa-apa.
Tapi mungkin ada yang berbeda dengan pagi hari itu. Rio turun dari kamarnya, agak bergegas karena Tag Heuer di tangannya sudah menunjukkan pukul
06.20. kemacetan pagi Jakarta
akan sama ‘ramahnya’ seperti saat petang.
Rio menghampiri ruang makan sebentar. Mengetahui Bi Okky pasti menyiapkan roti dengan selai srikaya dan segelas susu putih untuknya, selalu setiap pagi diatas meja makan. Rio
tidak duduk ia menyambar rotinya dan mengunyah cepat, sambil tak sengaja
mendengar beberapa pelayan yang Nampak berkasak-kusuk sambil mengelapi lukisan
di ruang makan, membuat Rio memutar bola
matanya.
“ .. iya tuh, tumbenan dia ga dijemput sama yang naik mobil itu .. terus tadi dia bangun telat pula .. katanya jam wekernya rusak .. ih alesan ..” bisik seorang pelayan
dengan agak sinis pada temannya.
Karena Rio sepertinya tahu siapa yang mereka bicarakan, Rio berusaha mengunyah secara wajar sambil mencuri dengar.
“ .. mungkin emang beneran rusak jamnya ..”
“aaah .. dia itu mah kebanyakan dimanjain sama den Gabriel ..” sahut pelayan yang tadi.
Tiba-tiba Rio merasa perlu membersihkan tenggorokannya. Ia berdeham, membuat kedua pelayan itu terlonjak kaget.
“pa .. pagi, Tuan ..” kata kedua pelayan itu.
Rio melotot, lalu berkata tajam “pagi-pagi ngegosipin orang ..” Rio pun berlalu dari ruang makan sambil berfikir. Jadi .. si potong, patong atau
siapalah itu namanya tidak menjemput Shilla hari ini .. hmm .. dia ingin tahu
kenapa ..
Rio sibuk berfikir sehingga tidak menyadari saat meraih pegangan pintu utama, ada tangan lain yang juga sedang menggapainya.
Rio dan Shilla saling memandang bersamaan. Shilla sempat melotot kaget saat mendapati tangan siapa yang ditumpunya. Ia lalu melepas tangannya dan memelototi lantai, sebagai ganti
Rio.
Rio tanpa sengaja, melengos terlalu keras dan membuang muka. Bukan karena ia sedang memainkan topengnya. Hanya saja, ia belum siap terlibat kontak lagi dengan gadis ini.
Selama beberapa menit, terjadi kebisuan. Mereka berdua mematung di tempat.
Tidak tahu mau berbuat apa.
Rio merasakan mulutnya gatal, lalu tiba tiba berbicara “lo telat.” Katanya. Shilla menoleh lagi ke arah Rio, melongo lalu memelototi lantai lagi sambil mengangguk mendengar pernyataan
Rio.
“kenapa bisa ?” Tanya Rio ingin tahu. Melupakan sebentar topengnya, karena geli melihat Shilla sepertinya begitu terkejut mendengarnya bicara tanpa ditanya terlebih dulu.
“mmm ..” gumam Shilla pelan “weker saya mati ..”
“Oohh .. bukan karena nungguin cowok lo yang ga dateng dateng ?” sindir Rio, tidak bisa menutupi kesinisan dalam pertanyaannya.
Shilla melengos pelan. Rio bisa mendengar Shilla berkata sesuatu seperti ‘macan’ dan ‘survey’. Rio
mengangkat bahu sok tak acuh, padahal ia ingin tahu apa maksudnya macan-macan
itu. Ya, dia tidak boleh terlalu berharap bahwa maksud Shilla adalah si
Potong-bebek-angsa- itu ditelan macan. Itu akan terlalu indah untuk jadi
kenyataan.
“mau ikut gue ?” Tanya Rio se (sok) ketus mungkin.
Shilla terkejut lagi memandang Rio. Ah, Rio suka sekali melihat kedua mata bening Shilla membelalak lebar seperti itu.
“gue ga ada maksud apa-apa, gue cuma ga mau Gabriel nyesel udah nyekolahin elo kalo lo telat ..” kata Rio, sebenarnya agak terganggu
membawa-bawa nama kakaknya dalm urusan ini.
Shilla mendesah lagi “bukan karena itu .. saya ga mau Keke berpikir macam macam ..”
Sial. Kenapa pula dia jadi bawa bawa ratu mulut cabe itu .. senjata makan tuan ..
“ga usah bawel .. gue tunggu lo di depan ..” kata Rio, mendahului Shilla menuju halaman depan tempat sedan andalannya terparkir
*
Shilla membelalakkan mata sepanjang perjalanan, terkadang melirik cepat ke arah Rio di sebelahnya. Ia benar benar tidak mempercayai apa yang terjadi. Bagaimana
mungkin dia bisa berada semobil dengan Rio
begini ? dan bagaimana mungkin hatinya mulai bertalu-talu lagi, menimbulkan
kembali teka-teki itu ke permukaan ?.
Shilla menyadari benar perbedaan berada semobil dengan Patton dan Rio. Berada semobil dengan Patton berarti ceria, tertawa karena lelucon-lelucon
anehnya yang tak ada habisnya. Berada semobil dengan Rio
berarti ketegangan, Shilla bahkan segan mengeluarkan suara sekecil apapun. Yang
jelas, kalau berada semobil dengan Patton jantungnya tidak akan berdetak
melebihi batas kewajaran begini.
Shilla berusaha menetralisir otaknya dengan cara memuntir muntir kunciran biru kesayangannya yang dibawanya dari desa Apit. Kunciran yang sudah menemui ajalnya tadi pagi.
Selain wekernya rusak, Shilla menyadari bahwa ini bukan hari terbaiknya, karena
kunciran kesayangannya itu ditemukan tergeletak tak bernyawa alias putus dengan
sentosa. Ia terpaksa menggunakan karet dapur berwarna coklat agar rambutnya
tidak terurai kemana-mana.
Mereka terjebak lampu merah. Shilla menarik nafas pelan. Memusatkan pikirannya pada kunciran birunya, daripada memikirkan pemuda di seblahnya. Mungkin juga dengan berkonsentrasi
kuncirannya bisa kembali tersambung. Abrakadabra.
“itu apa ?” Tanya Rio heran, melihat benda berbulu di tangan Shilla.
Lagi-lagi Shilla melongo mentap Rio, lalu memalingkan mukanya. Gila hari apa sih ini ? hari yang aneh. Selain kesialannya itu .. coba
bayangkan, Rio berbicara padanya berkali-kali,
dengan intonasi pula.
“kunciran saya ..” cicit Shilla akhirnya, masih menatapi kuncirannya.
“kenapa lo pegangin ?” Rio menggerakkan matanya, melihat ke arah rambut Shilla yang terkuncir rapi “karet dapur ?” tanyanya tak percaya.
Shilla cuma diam. Ga guna deh Rio bicara, tapi malah mencelanya. Shilla akhirnya mengangkat bahu “kunciran saya putus ..”
Rio mengangkat alis mendengar jawaban Shilla. Jam weker mati, hampir terlambat sekolah, kunciran putus. Sial sekali gadis di sampingnya itu. Hei, tapi … bukankah ia bisaa .. Rio berfikir sejenak. Saatnya ia pergi ke pusat
perbelanjaan hari ini.
*
1 Message Received
Shil, ntr plg gue jmpt lo ya :) meet you soon ..
Sender : Patton 14:45
Shilla membuka laci di meja sekolahnya, melirik sebentar ke arah Pak Joe yang sedang menjelaskan materi berapi-api di papan tulis. Ia mendengar bunyi bergetar teredam dan
mendapati sms dari Patton ini. Shilla tersenyum sendiri, menyadari bahwa ia
sedikit merindukan Patton dan aura hangat yang dibawanya. Saat itu juga, Shilla
mendengar bunyi deham dari belakangnya.
Shilla mendelik ke belakangnya, lalu baru mengingat denah kelas yang dirubah tadi pagi, Rio sekarang duduk tepat di belakangnya, jadi jelas Rio
lah yang berdeham tadi. Ia bergegas menatap ke depan lagi, karena Rio cuma menatapnya tanpa ekspresi seakan akan dia gila.
Shilla berusaha melupakan detak jantungnya yang memburu itu dengan cara membuka
sms terakhir dari Patton, lelucon hariannya, membuat Shilla tersenyum sendiri
lagi.
Shilla terus melihat ke arah jam dinding, berharap pelajaran Pak Joe segera berakhir. Lima menit .. sepuluh menit .. lima
belas menit .. akhirnya bel pun berdering. Tak lama setelah Pak Joe beranjak,
Shilla mencium kelebatan wangi yang familier di hidungnya. Ternyata Rio baru
sasja melesat ke luar pintu. Shilla mendesah, menyadari ternyata organ tubuhnya
masih bereaksi pada wangi itu.
“Shil, gue pulang duluan ya ?” Tanya Ify.
Shilla mengangkat wajahnya “loh, tumben fy ? biasanya mau ketemu Patton dulu ?”
Ify tersenyum kecil “nanti juga ketemu dia,” ify menghela nafas “bokap gue lagi sakit, Shil ..”
“ah ..” Shilla berkata pelan “semoga papa kamu cepet sembuh ya, fy .. aku titip salam ..”
Ify mengangguk pelan, lalu tersenyum “gue duluan ya, Shil, Dev ..” katanya, menepuk bahu Shilla sebentar lalu beranjak ke luar pintu dengan langkah gontai.
“gue juga duluan ya, Shil .. nyokap mau belanja bulanan .. biasaaaa .. terus sorean gitu paling gue mau jenguk bokap Ify .. mau ikut ?”
Shilla memikirkan tumpukan pekerjaannya di kediaman Haling “kayaknya ga bisa, Dev .. aku titip salam aja deh ..”
Deva tersenyum “oke .. gue titip salam buat sopir lo juga deh ..” kata Deva lalu tertawa.
Shilla menjulurkan lidah, kesal karena ledekan harian Ify dan Deva yang itu-itu saja.
“Daaaa ..” kata Deva, menepuk kepala Shilla lalu menuju ke luar pintu.
Tanpa disadari, Shilla kini sendiri di dalam kelasnya. Ia menghela nafas sebentar lalu perlahan memutar tubuhnya ke belakang. Menatap bangku dan meja Rio,
memikirkan penghuninya.
Shilla bertopang dagu, menumpukan sikunya di meja Rio.
“kenapa kamu ..” ucap Shilla pelan “ yang ada disini terus ?” ia mengetukkan jari ke kepalanya. Shilla melanjutkan pertanyaan retorik itu dalam hatinya. Kenpa bukan Patton
saja yang ada di otaknya ? Patton yang begitu baik ? sekalipun Patton tak
mungkin punya rasa untuknya .. tapi seharusnya Patton yang lebih mungkin berada
di batok kepalanya.
Shilla menghela nafas, lalu mengambil ponselnya yang ia sadari bergetar di sakunya.
1 Message Received
Touch down @ ur school .. ayo turun, neng !
Sender : Patton 15:07
Shilla tersenyum pelan, lalu bergegas turun melalui elevator. Ia tersenyum lagi saat mendapati sebuah Volvo hitam terparkir di depan gedungnya. Shilla melangkah ringan dan
mengetuk kaca jendela penumpang.
Patton membuka kaca jendela penumpang. Tersenyum mendapati Shilla yang tersenyum juga.
“Langit bertanya .. dimana Matahari hari ini ? mengapa awan yang seharian menggelayutiku dan membuat semuanya kelabu ?” kata Shilla bersajak.
Patton menanggapi “Matahari sudah kembali dari persembunyiannya .. untuk menghibur sang Putri Langit yang ikut bermuram katanya ..”
Shilla tertawa, lalumembuka pintu mobil Patton dan masuk ke dalamnya. Patton menoleh kea rah Shilla “oke, sejak kapan gue jadi Matahari ?”
Shilla tertawa geli “sejak kapan aku jadi Putri Langit ?”
Patton menjawab tanpa sadar “mungkin sejak kita ketemu ..”
“hmm ?” Shilla tampaknya tidak mendengar ucapan menyerempet yang dikatakan Patton, karena ia sedang memelototi strip obat berwarna perak-hijau yang tergeletak di dashboard
mobil Patton.
“kamu punya penyakit maag ?” Tanya Shilla, mengambil strip itu lalu menoleh ke arah Patton. Patton hanya tersenyum dan mengangkat bahu.
“kayaknya gitu .. gue kan kalo makan agak ga teratur .. makan pagi juga jarang ..” sahutnya jujur sambil
men-starter mobilnya.
Shilla berpikir sejenak “jarang makan paginya baru baru ini atau ..?”
Patton tahu kecemasan yang melayang di otak gadis baik seperti Shilla begini “gue emang dari dulu jarang sarapan kok, karena memang ga sempet ..”
“Oooh ..” sahut Shilla akhirnya, tiba-tiba jadi memikirkan jarak dari daerah rumah Patton ke tempatnya tinggal. Memang searah sih, tapi .. jam berapa pemuda ini harus
bangun setiap hari ? berapa lama yang dibutuhkannya untuk bersiap siap hingga
tak sempat menyentuh sarapan ? hmm .. Patton selalu baik padanya, mungkin tak
ada salahnya, walaupun tak seberapa, kalau ia melakukan sesuatu untuk Patton.
*
Sandwich. Shilla memutuskan membuat sepotong sandwich untuk Patton. Mungkin sederhana dan tidak seberapa. Tapi, sejujurnya cuma ini menu sarapan yang bias dibuatnya dan tidak perlu
menimbulkan grasa-grusu berisik saat prosesnya.
Keesokannya, Shilla berniat membuat sarapan itu pag pagi sekali di pantry, dapur bersih yang terletak di senelah kamar Gabriel, di seberang kamar Rio,
di lantai atas. Sambil membawa bahan bahan yang sudah ia siapkan di sebuah
Tupperware besar, Shilla melangkah perlahan menaiki tangga, berusaha tidak
menimbulkan suara.
Entah kenapa, langkah Shilla sempat terhenti di depan sebuah pintu jati bertuliskan ‘Enter With Your Own Risk !’ yang terletak di seberang pantry yang di tujunya. Shilla menghela
nafas panjang, memandangi pintu yang dulu pernah membuat pipinya memerah itu.
Ia lalu memutuskan untuk melangkah gontai ke arah pantry dan mengeluarkan
bahan-bahan dari Tupperware yang dibawanya.
Shilla menyadari apa yang dia lakukan tadi membuat dirinya resah sendiri. Membayangkan Rio hanya sejauh itu dan … Shilla mendesah, ia mulai menggoreng daging asap yang
dibawanya si atas wajan. Bunyi berdesis dan letupan minyak membuat pikirannya
teralih. Dan ia cukup senang akan hal itu. Ia tidak mau memikirkan Rio, tapi masalahnya otaknya tak mau diajak berkomplot.
Shilla mengetuk-ngetukkan jarinya ke dahi. Berharap dengan berbuat begitu bisa
menghilangkan bayangan Rio di benaknya.
Sementara Shilla sudah hampir menyelesaikan bekalnya dengan cara ‘mencoret’ bagian atas sandwich dengan sambal, menulis huruf huruf yang pasti akan membuat Patton tertawa
ketika melihatnya, ternyata Rio sudah bangun
dari tidurnya.
Rio sedang menikmati kelancaran internet di pagi hari dengan mengunjungi beberapa situs musik favoritnya. Saat ia sedang mengunduh musik gratis yang tersedia di salah satu
website, layar PC nya bergetar, ternyata Gabriel mem-buzz Yahoo! Messenger-nya.
Gabriel 78 : BUZZ!!!
Rio_Haling: ?
Gabriel78 : Yo ?
Rio_Haling: hah ?
Gabriel78 : kok lo udah bangun ? disana masih jam brp ?
Rio_Haling: lah, lo sendiri blm ngorok ? disono jam brp ?
Gabriel78 : kok pertanyaan gue malah di balikin --‘
Rio_Haling: ngapain coba, kak ? kita nge-chat ga jelas gini ?
Gabriel78 : kangen juga gue ngejitak pala lo, yo ..
Gabriel78 is typing
Baru sekali ini sejak berbulan bulan Gabriel pergi, mereka bisa berkomunikasi lewat Chatting. Sebelumnya mana pernah jam melek Gabriel dan jam melek Rio
bertemu.
Gabriel78 : disono subuh ya ?
Rio_Haling: yoa
Gabriel78 : lo ga niat ngechat ama gue apa gimana sih ?
Rio_Haling: lagi ngantuk gue ..
Gabriel78 : ya tidur dong .. repot bener
Gabriel78 : mending lo bantuin Shilla beberes dapur sana ..
Deg. Ngapain juga si Gabriel bawa-bawa nama Shilla. Keki juga Rio menyadari , Gabriel ternyata masih mengingat Shilla. Hei, tapi ..
Rio_Haling: darimana lo tau Shilla lg beberes dapur ?
Gabriel78 : ya tau aja hahahaaha
Jangan-jangan … pikir Rio .. mereka masih rutin berkomunikasi
Gabriel78 : woi, kok diem ? gue ngasal lagi .. gue udah jarang komunikasi sama dia
kok
Rio_haling: oh .. terus gue peduli ya ?
Gabriel78 : hahaa
Rio_Haling: kenapa ketawa ?
Gabriel78 : hmm .. have you …
Rio_Haling: apaan sih ?
Gabriel78 : fallen for her ?
Rio_Haling: bukan urusan lo ..
Gabriel78 : hahaaa
Rio_Haling: tau deh ah .. gue off dulu
Gabriel78 : lari dari kenyataan ga akan nyelesaiin masalah, yo .. hadepin aja
perasaan lo ..
Rio_Haling has signed off
Rio mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, melirik monitornya ke arah kata-kata yang sempat diketik Gabriel. Ia menghela nafas, melihat ke arah jam di bagian kanan bawah layar
lalu memutuskan men-shut down PCnya. Matanya tertumbuk ke arah bungkusan biru
yang kini bertengger di seberang sana,
di meja sebelah tempat tidurnya.
Rio beranjak dari meja belajarnya dan menaiki undakan ke tempat tidurnya. Mengambil bungkusan biru yang berisi dua buah benda yang baru dibelinya kemarin. Benda yang satu tidak
sulit didapatkan, karena ada dimana mana, di warung, suoermarket semua ada.
Yang satunya lagi, sebenarnya pun tidak sulit didapat, tapi ada proses
memalukan yang harus dilaluinya. Dipandangi ibu-ibu kelewat gaul, gerombolan
cewek yang terus cekikikan dan pelayan toko berbando kuping kelinci bukan hal
yang menyenangkan, tahu.
Tak lama Rio terdiam, telinganya mendengar bunyi akrab dari luar. Suara itu suara yang biasa didengarnya saat Gabriel kelaparan dan memutuskan membuat makanan cepat saji. Di Pantry. Rio
mengerutkan kening, Gabriel jelas-jelas masih di Paris. Masa sih celetukan Gabriel
benar ? ada Shilla disana ?
Rio menuruni undakan, bergegas ke pintu dan mengintip dari celahnya. Pintu pantry tertutup dan ia memang mendengar bunyi sedikit berisik dari sana. Rio hampir merapatkan kembali pintu
kamarnya saat melihat pintu pantry terbuka, lalu Shilla keluar dari sana, setengah berlari
menuruni tangga, meninggalkan pintu pantry setengah terbuka.
Rio mengerutkan kening lagi. Kok Gabriel bisa bener begitu ? hei, Shilla meninggalkan pintu pantry setengah terbuka. Berarti mungkin, gadis itu akan kembali kesana. Rio memandangi bungkusan di tangannya dan tersenyum
lebar. Ia tahu cara memberikan benda benda ini pada Shilla tanpa terlihat.
Rio jadi tersenyum senyum lagi mengingat kejadian kemarin, sambil melangkah pelan menuju pantry. Ia merindukan ekspresi itu dan akhirnya melihatnya lagi, saat dikelas kemarin.
Shilla mendelik kesal yang terlihat sangat lucu di matanya. Lalu, setelah itu,
ia melihat Shilla tersenyum diam-diam memandangi lacinya. Jelas, Shilla tidak
tersenyum karena laci itu bermain sirkus di depan matanya kan ? salahkah ia berharap, Shilla tersenyum
diam-diam untuknya ? setelah melihatnya ?
Rio terus tersenyum sambil memasuki Pantry. Bau daging asap menyeruak dari sana. Rio mengangkat bahu tak acuh, memikirkan dimana ia meletakkan bungkusan itu agar
terlihat Shilla. Rio melongok ke arah piring
sandwich dengan olesan sambal acak acakan yang terletak di meja seberang pintu.
Mungkin disana saja, pikirnya.
Rio melangkah pelan menuju ke samping piring itu, lalu baru menyadari secara jelas nama yang terukir di atas sandwich, terbuat dari sambal, coretan nama antagonnya, P-A-T-T-O-N.
*
Sjilla bergegas menaiki tangga, ia baru saja dari dapur kotor di bawah untuk mengambil Tupperware lain yang lebih kecil untuk dijadikan kotak bekal. Saat naik itulah,
Shilla mendengar bunyi berderit pelan. Ia menoleh ke arah pintu jati itu. Kalau
kupingnya tidak salah, pasti pintu itulah yang baru saja ditutup, sehingga
menimbulkan bunyi berderit tadi. Sudah bangunkah Rio
? Shilla menghela nafas panjang. Berusaha mengusir keingintahuan itu.
Shilla melangkah cepat ke arah pantry. Menyadari waktu sudah menunjukkan hampir pukul lima pagi. Sebentar lagi aktivitas di sekitarnya akan dimulai. Shilla bersenandung kecil sambil menuju
meja tempatnya menaruh sandwich buatannya tasi. Dahinya mengerut mendapati
sebuah bungkusan asing yang bertengger disana. Bungkusan siapa ini ? kok ada
disini ? apa isinya ?
Akhirnya rasa keingintahuan mengalahkan pertimbangan lain Shilla. Ia membuka bungkusan biru itu dan terkesiap mendapati benda yang ada di dalamnya. Sepasang baterai jam
dan sebuah kunciran bulu biru berlabel merk salah satu toko aksesoris remaja.
Entah kenapa, di otaknya hanya terlintas satu nama. Walau mungkin tidak
mungkin. Pintu pemilik pintu jati berderit tadi. Rio.
*
Kesadaran itu merayap bagai kabut. Bergerak perlahan, lalu tanpa terasa mengaburkan pandangan. Ini yang Patton rasakan kemudian. Kesadaran yang ia takuti namun ternyata ia
harapkan. Ia mendapati bahwa ia sedang menggapai air. Sedetik lalu, ia
merasakannya di ujung jari, tapi sesaat kemudian gadis itu tak disana lagi.
Patton melirik gadis di seblahnya. Yang lagi-lagi, entah keberapa kali untuk pagi ini, menatapi langit cerah diluar dengan kegalauan yang menjadi-jadi. Kegelisahan itu seperti
berkedip-kedip bak mercusuar dari setiap inchi tubuh Shilla. Pasti ada yang
tidak beres.
“Shil ?” kata Patton pelan. Shilla di sebelahnya masih diam, matanya berkedip sekali menandakan kehidupan sambil tetap menatapi luar jendela. Patton menghela nafas lalu
memanggil lebih keras “Shil ..”
“hah ? eh ..” Shilla agak terkejut mendengar namanya dipanggil. Ia buru buru menatap Patton dengan mata sayu “sorry ..”
Patton cuma tersenyum “are you really here ? or am I talking to a shadow ?” Patton menggerak-gerakkan sebelah tangannya iseng ke depan wajah Shilla, seakan mau meyakinkan bahwa
Shilla benar benar di sebelahnya. Ini akhirnya membuat Shilla tertawa kecil,
Patton menghela nafas lega diam-diam.
Patton menghentikan tangannya yang bergerak, ia keudian menatp Shilla lekat-lekat “jujur ya .. elo lagi kenapa sih ?”. Shilla mencubit cubit bibirnya, lalu membuang muka ke
depan. Dia tidak menjawab hingga akhirnya ia menepuk dahi dengan tangannya,
seakan melupakan sesuatu lalu ia merogoh ranselnya.
“tadaaaaa ..” Shilla menyodorkan sebuah Tupperware ke depan wajah Patton saat lampu berubah merah. Patton mengernyit sambil menyentuh pedal rem di kakinya.
“apaan nih ?” tanyanya. Ia mengambil lalu membuka tutup kotak yang disodorkan Shilla dan mendpati .. sepotong sandwich dengan coretan nama P-A-T-T-O-N di atasnya. Ia
tersenyum cerah, memutar kepalanya ke arah Shilla dan berkata “thanks ya ..”
Shilla mengangguk “ aku bakal bikinin kamu sarapan tiap pagi loh ..”
Patton tersenyum, memutuskan menaruh kotak bekal itu di dashboard dan memakannya nanti, karena lampu sudah berubah hijau, ia lalu menyentuh pedal gas dan berkonsentrasi
menyetir. Tak berapa lama, Patton melirik cepat ke arah Shilla dan mendapati
gadis itu tengah melamun lagi.
Patton mendesah. Oke .. pikirnya .. mari kita keluar jalur sebentar .. Patton membanting setirnya ke arah kanan, bukan ke kiri, ke arah sekolah Shilla seharusnya.
Shilla yang sedang melamun tiba-tiba tersadar “Pat ? kita mau kemana ? ini bukan jalan ke sekolahku kan
?”
Patton tersenyum “bukan .. ke sekolah gue juga bukan ..”
“terus ?”
“bolos sekali sekali itu menyehatkan, tahu ..”
*
Jadi di sinilah mereka. Di kawasan pantai berbatu besar di Jakarta Utara. Bukan. Bukan Ancol. Patton tidak se mas-mas-kebelet-pacaran begitu sampai memilih Ancol untuk
tempat nongkrong. Mereka berada di Muara Baru. Kawasan ini sebenarnya tempat
pemancingan dan ada kawasan Pasar Lelang Ikan tak jauh dari sini. Tapi
pemandangan pantai Muara Baru cukup bagus dan belum banyak orang yang tahu tempat
ini, sehingga masih cukup sepi.
“waw ..” kata Shilla. Ia bergegas turun dari mobil dan melangkah ke depan beton yang biasa dijadikan tempat duduk bagi para pemancing. Ia memejamkan mata dan menghirup wangi asin
yang entah kenapa mengingatkannya lagi pada seseorang yang juga tampaknya
mencintai laut. Shilla membiarkan seragam dan rambutnya berkibar kibar ditiup
angin.
Patton melangkah ke sebelah Shilla yang sudah membuka matanya “kayak déjà vu ya ..” kata Patton, membuat Shilla mengerutkan keningnya.
Patton memandang ke laut lepas “kita ngeliat laut berdua lagi .. bedanya kita ga ngeliat laut dari atas balkon .. dan kita sekarang ga lagi pake baju pesta .. tapi ..”
“tapi ?”
“tapi hari ini elo sama galaunya kayak waktu gue nemuin lo di balkon itu .. pertanyaannya adalah .. apakah orang yang sama yang bikin lo begini ?”
Tatapan Shilla tiba tiba mengeras. Ia sebenarnya tidak mau membahas hal ini. Ia menghela nafas, menatap ombak yang bergulung-gulung lalu menjawab pelan.
“melihatnya .. merasakan kehadirannya itu semudah menarik nafas .. bahkan tanpa mencarinya, aku menemukannya dimana-mana .. karena ironisnya .. aku tinggal di tempat
dimana dia tumbuh ..”
Shilla meneruskan “tapi merasakannya .. begitu sulit .. aku mencoba ‘merasakan’nya saat memikirkannya ..,” Shilla menaruh kedua telapak tangannya di dada “sakit sekali
.. disini .. ada yang kosong disini .. kalau memang kepingan puzzle yang hilang
itu dia .. lalu bagaimana ? aku tak tahu bagaimana memasangnya kembali .. aku
belum menemukan perekatnya ..”
Saat itulah kesadaran itu menghantam Patton. Patton menyadari perekat yang dimaksud Shilla. Perekat yang belum ditemukannya itu adalah teka-tekinya sendiri. Bagi Patton, Shilla
sekarang tampak seperti anak kecil yang tengah bimbang karena tidak tahu
bagaimana cara membuat balon menggelembung.
Patton mengulum bibirnya. Apa yang harus dilakukannya sekarang ? membantu Shilla untuk menemukan perekat itu ? atau membiarkan Shilla menemukan kepingan puzzle lain
yang tak perlu memakai perekat ?
“lo tahu ..” kata Patton akhirnya “alam yang tenang kayak gini, bisa menyimpan apa ?”
Patton terus menatap ke depan, tidak menghiraukan Shilla yang sekarang sedang kebingungan menatapnya.
“alam yang tenang kayak gini bisa menyimpan badai .. apakah alam pura pura ga tahu badai akan datang ? atau apa dia emang gak ngerti gimana menunjukkannya pada manusia ?
atau dia emang ga tahu sama sekali ? kita ga akan pernah tahu apa yang
dipikirkan alam ..
“badai itu kekuatan alam yang dahsyat kan ? manusia ga akan pernah tau dengan jelas pemicu badai sebenarnya .. manusia
hanya bisa mengira dengan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki .. tapi yang
jelas badai itu pasti dan semudah itu ia datang tanpa perlu permisi .. saat
badai bisa dilacak .. maka dia pasti bukan badai alam .. tapi badai buatan ..
“cuma Tuhan dan badai itu sendiri yang tahu kapan ia datang .. alam akan menyadari badai itu pada waktunya .. pada saat badai itu di depan mata .. entah alam sudah tahu atau
berpura pura tidak tahu tentang badai itu, lagi lagi kita ga akan pernah tahu
..”
Ucapan Patton ini mungkin seperti racauan orang aneh. Tapi sepertinya Shilla menyadari, Patton membantunya menemukan perekat itu dengan cara memberikan petunjuk. Patton
membekalinya untuk berenang bukan dengan pelampung, tapi dengan mengajarinya
cara menemukan tepian saat ia akan tenggelam.
Shilla terdiam sebentar lalu tiba-tiba berkata “andai aku bisa berpura-pura kalau aku bisa melupakan dia dan teka-tekiku .. tapi .. semakin keras aku menyangkal kehadirannya, aku
semakin menyadari bahwa dia ada”
*
Rio menatap langit-langit kamarnya sambil tidur-tidur ayam di ranjang empuknya. Ia mendesah, berusaha menangkapi bayangan yang melayang-layang di otaknya, di
hatinya, di langit langit kamarnya, dimanapun ia berada.
Cobalah melayang ke tempat lain, Shilla .. batinnya. Rio memukul-mukul udara dengan tangannya berharap sosok itu bisa menghilang. Uuugh
.. Kilat di luar mulai menyambar, tampaknya akan turun hujan sebentar lagi.
Hujan biasanya membuatnya mengantuk. Tapi, Rio
tidak ingin tidur, karena mimpi akan membuat gadis itu semakin nyata, dan
membuat ia semakin memikirkan gadis itu lebih jelas keesokannya.
Ponselnya tiba tiba berbunyi. Rio bangkit dari ranjangnya, meraih ponsel di meja kecil lalu bersandar di kepala ranjang dan membuka pesan yang
masuk.
Keke ?!
Yo, lusa temenin aku ke Welcome Home Party nya papi-mami Aren ya ?
Please please pleaseeee .. I beg you :( :( :(
Sender : Keke 20:53
Ya Tuhan, betapa inginnya Rio menendang jauh-jauh gadis yang terus menempel bagai lintah padanya ini. Dikiranya dengan memasang emoticon
sedih begitu, dia akan luluh apa ?
Rio membanting ponselnya ke ranjang, lalu menangkupkan tangan ke wajahnya. Lebih baik ia membuat kopi agar tidak jatuh tertidur lalu mimpinya dipenuhi sosok bayangan aneh dan nenek
sihir bermulut cabe.
*
Shilla melangkah ke arah pantry. Ia berniat membuat kopi karena dia harus begadang menyelesaikan tugas sekolah yang tidak sempat diselesaikannya sore tadi. Selain itu, perkataan
Patton masih terngiang di otaknya. Patton jelas-jelas memberikannya petunjuk
tersembunyi dari perumpamaan badai itu. Hmm ..
Tapi yang mana jawabannya ? alam-nya ? atau badai- nya ?
Shilla mengerutkan kening saat berjalan mendekati dapur. Ada suara berisik dari sana.
Siapa yang masak malam malam begini ? Chef Dave tidak segila itu sampai
mengobrak ngabrik dapur untuk bereksperimen malam malam.
Shilla bergidik ngeri. Ditambah suara kilat menyambar di luar .. astaga, dia tidak mau ada adegan film Scream malam jumat begini. Shilla meneguk ludah. Ia tidak berani,
tapi terlalu membutuhkan kopi untuk
membuat matanya terjaga.
Kriieeeettt .. Shilla membuka pintu dapur perlahan .. siapa itu ? dengan setelan hitam begitu ? ting .. ting .. ting .. sosok itu sedang mengaduk-aduk sesuatu.
Shilla berjalan pelan, mendekati sosok itu yang belum menyadari bahwa ia baru saja masuk. Shilla menelengkan kepalanya, berusaha melihat siapa itu.
Rio membalikkan badan pada saat Shilla berada 2 meter di belakangnya. Ia sempat terlonjak, lalu menepuk-nepuk dadanya. Bikin kaget saja.
Tapi, Rio tidak berkata apa-apa. Ia sedang berusaha mencari Creamer agar kopinya tidak terlalu pahit. Siapa suruh cuma ada kopi hitam pekat begitu di dapur ini. Shilla pun tidak tahu mau menyapa bagaimana, ia
mengabaikan detak jantungnya yang nakal itu lalu beranjak ke rak dimana kopi
tersimpan. Tinggal satu sachet terakhir.
Sudah berapa lama ia tidak berada satu ruangan dengan Rio seperti ini ?. Rio dan Shilla saling memunggungi. Masing masing dengan kegalauannya sendiri. Tanpa tahu, badai itu akan menghantam sebentar lagi. Rio sudah menemukan creamer dan menuangnya lalu
memutuskan meninggalkan dapur.
Shilla menghela nafas, bersyukur wangi Rio tersamar wangi kopi yang kental, sehingga jantungnya tidak perlu bertambah keras bekerja. Shilla
sudah menuang kopi bubuk ke dalam cangkir dan berniat menuang air panasnya saat
tiba-tiba kilat menyambar terlalu keras. Shilla membalikkan badan, berniat
melihat ke luar jendela dan tanpa sengaja lengannya menggeser cangkir kopi
hingga jatuh berguling dan melayang ke lantai. Praaaang .. Shilla refleks berlutut
untuk membersihkan pecahan cangkir dan pada saat bersamaan, tiba-tiba lampu
dapur berkedip lemah dua kali dan mati. Tidak. Bukan hanya lampu dapur. Semua
lampu di rumah itu mati.
Gawat. Pasti Kilat menyambar steker listrik atau entah apa sehingga memutus arus yang tersambung. Ah .. Shilla benci adegan seperti ini. Shilla berusaha menggeser tubuhnya
untuk berdiri saat “aaaah …” Shilla
mengaduh, ternyata salah satu pecahan gelas itu pasti menyobek dengkulnya.
“ssssss .. aaaaaahh .. au ..” Shilla menggeser tubuhnya, berusaha mundur, mengira-ngira tempat yang tidak terserak pecahan cangkirnya.
Shilla mengusap bagian sekitar lukanya. Dia sulit berdiri kecuali ..
Sebuah tangan meraih tangan kirinya dan sebuah tangan lain melingkar di punggungnya, menopangnya untuk berdiri. Rio memapah Shilla, ia
melingkarkan tangan Shilla yang tadi ia pegangi ke bahunya.
“bodoh ..” gumamnya pelan.
Mendengar suara itu, seakan ia dan Rio tidak pernah menjauh. Shilla menarik nafas, lalu baru mendapati bahwa ia berada dalam harum ini lagi. Wangi
parfum Aigner bercampur harum maskulin alami Rio.
Shilla merasakan pipinya memanas dan memerah. Ternyata gelap, sedikit membantu
juga. Menyamarkan agar jangan sampai Rio tahu
ia tersipu.
“kaki lo luka ?” Tanya Rio
“aduh ..” tiba-tiba Shilla baru merasakan luka di kakinya lagi.
Rio tertawa tertahan sambil terus memapah Shilla yang terpincang-pincang. Ah, Shilla ingin sekali melihat tawa tertahan Rio itu. Kedengarannya
begitu .. tampan. Bisakah ketampanan di dengar ? mungkin bisa bagi Shilla yang
otaknya sedang bermasalah, diliputi badainya.
Rio memapah Shilla ke arah halaman belakang. Ia menggeser pintu lalu mendudukan Shilla di teras halaman belakang yang berkanopi sehingga Shilla tidak terkena cipratan hujan
yang mengamuk di luar.
“tunggu ..” Rio pergi ke dalam lagi, meninggalkan Shilla yang tiba tiba terdiam menatapi hujan.
Shilla memandangi hujan tidak percaya. Rio. Rio. Rio. Kenapa sekarang lelaki itu yang mengisi
otaknya. Kebaikan Rio ini. Harum Rio ini.
Dan sosok itu melangkah kembali ke hadapannya. Dari luar, masih ada cahaya samar yang dihasilkan alam. Shilla bisa melihat Rio
membawa kotak P3K dan kopi yang tadi dibuatnya.
Rio meletakkan cangkir kopi nya di meja kecil di pojok teras. Ia lalu berlutut di depan Shilla. Menarik perlahan kaki Shilla yang luka.
“aah ..” kata Shilla pelan.
Rio mengeluarkan kapas dan meneteskan alcohol kesana. Ia menepuk nepuk pelan luka Shilla, mensterilkannya dari bakteri. Lalu Rio mengulum luka Shilla dengan ujung
cottonbud yang sudah dibubuhi obat merah.
Rio meniup niup pelan luka Shilla. Ia membersihkan daerah sekitar luka agar tidak terlalu kotor dengan caranya mengusapnya pelan dengan tissue.
“sakit ya ?” Tanya Rio, lalu meniup-niup luka Shilla lagi.
Shilla ternganga, tidak menyangka Rio akan mengobatinya begini, Rio terlihat manis sekali. Wajahnya kembali memanas, Shilla menunduk.
Rio menepuk pelan daerah di dekat luka Shilla, bangun sebentar mengambil kopinya dan duduk kembali di sebelah Shilla.
Tiba-tiba Shilla ingin bertanya pada Rio. Seseorang yang pernah dianggapnya sebagai Ayi. Kini, Rio juga menolongnya
seperti Ayi waktu itu.
“menurut kamu , apa yang harus kita lakukan pada masa lalu yang selalu terus mendesak ke permukaan ?” Tanya Shilla
Rio terkesiap. Masa lalu untuknya berarti Mai. Shilla seperti menanyakan padanya hal yang juga menjadi pertanyaan untuk Rio sendiri.
“melupakannya ..” ya, Mai mungkin ini saatnya untuk melupakanmu .. “saat masa lalu itu tak begitu penting ..,” bukan, Mai bukan berarti kau tidak penting, hanya .. “apalagi saat
elo sudah menemukan apa yang bisa menggantikan masa lalu itu,” dan aku sudah
menemukan penggantimu, Mai.
“karena kau tidak akan bisa memilih masa lalu dan masa depan pada waktu bersamaan kan ?” Tanya Shilla, berusaha meyakinkan pilihannya sendiri.
“ya, tepat seperti itu” sahut Rio sambil tersenyum, tanpa sadar Rio meletakkan tangannya ke kepala Shilla, mengusap-ngusapnya. Tak berapa lama, ia
menjatuhkan tangannya, meraih cangkir dengan kedua tangannya.
Shilla menatap Rio tak percaya, tak percaya atas semua yang terjadi. Rio menyadari Shilla terkejut akan perbuatannya, tapi dia malah meniup-niup kopinya.
“kenapa ?” suara Shilla agak bergetar, kebimbangannya memuncak. Rio menatap Shilla dan mengerutkan keningnya, pertanda ia tidak mengerti kenapa
yang dimaksud Shilla.
“kenapa kamu ngelakuin ini semua ? seakan sebelumnya kita ga pernah diem-dieman ?”
Rio menurunkan kopi yang baru akan ia sentuhkan ke bibirnya. Ia berfikir, pentingkah memaksa Shilla mengetahui hatinya lagi ? ternyata, ia sudah merasa cukup kalau Shilla bahagia.
Melepas kenangannya akan Mai dan membiarkan Shilla bahagia, bukankah itu hasil
terbaik hidupnya ?
“ga kenapa-napa ..” jawab Rio akhirnya, Rio tersenyum pelan “mau kopi ?” ia menyodorkan cangkir kopi nya pada Shilla.
Shilla harus tahu apa yang ditutupi Rio ini, sesuatu dibalik jawabannya soal masa lalu itu tadi, siapa yang sudah menggantikan masa lalunya.
Ia meraih cangkir kopi itu lalu tanpa segan meminumnya. Ia menaruh cangkir itu
di antara mereka berdua.
“ga kenapa kenapa gimana maksud kamu ? buat aku itu kenapa napa ..” Shilla merasakan nada bicaranya meninggi, ia tidak tahan lagi pada teka-teki ini. Dan sikap Rio membuatnya makin bingung. Rio
seperti sedang menyembunyikan jawaban tersembunyi itu darinya.
Rio jadi bingung. Kenapa gadis ini sebenarnya.
“itu cuma .. hmm .. kesalahpahaman kecil aja .. kita bisa jadi teman lagi kan ?” tawar Rio sambil tersenyum miring. Senyum
favorit Shilla. Tapi senyuman itu tidak menenangkannya, malah membuat Shilla
makin bingung dan meledak.
“aku ga percaya kalo ga ada apa apa , yo ..” kata Shilla.
Rio mendesah. Lalu apa yang harus dilakukannya ? meneriakkan pada Shilla tentang hatinya dan membuat gadis ini semakin bingung ?
“mau lo apa, Shil ? lo mau tahu tentang apa ?” kata Rio pelan.
“kenapa kamu diemin aku ? dan kenapa kamu malah ada disini nolongin aku ?” Tanya Shilla mendesak.
“itu cuma salah paham kecil aja .. nothing important ..” kata Rio
“mungkin itu ga penting buat kamu .. tapi penting buat aku .. KAMU GA TAHU SEBERAPA SERING AKU MEMIKIRKAN DAN MENCARI JAWABANNYA SENDIRI, SEBERAPA KEBINGUNGAN INI MEMECAHKAN
OTAKKU DAN …”
“DAN LO GA TAHU APA APA SOAL OTAK YANG MAU MELEDAK, SHIL .. LO GA TAHU KAN SEBERAPA SERING GUE MIKIRIN ELO .. SBERAPA GUE BERHARAP LO TAHU PERASAAN GUE DAN LO BISA MEMBALASNYA , LO JUGA GA TAHU
SEBERAPA GUE …” Rio membekap mulutnya, menyadari
ia sudah berkata terlalu banyak.
Shilla menatapnya “seberapa kamu ?”
Rio menghela nafas pelan. Toh tidak ada ruginya dikatakan sekarang “seberapa gue sayang sama elo, Shil ..” jawab Rio akhirnya, menuntaskan pernyataannya.
Shilla mematung, tidak percaya itu jawaban yang dilontarkan Rio.
Rio mendesah “gue tahu lo ga akan semudah ini nerima jawaban macam begini dari gue ..” Rio mengusap pelan wajah gadis yang disayanginya itu.
“gue ga akan minta jawaban dari elo, Shil .. dimanapun dan sama siapapun elo bahagia saat ini, disana hati gue akan selalu ngejaga elo ..”
Rio bangun, tersenyum lalu mencium puncak kepala Shilla yang masih terdiam tidak percaya. Rio menepuk pelan kepala Shilla, lalu berjalan pelan ke dalam rumah, meninggalkan Shilla dan pikirannya.
Teka-teki itu terbuka.
Patton, aku menemukan badai itu akhirnya. Yang mereka sebut cinta .. itu yang aku rasakan pada Rio, kan ?
*
Rio menghela nafas dan menelusuri daftar kontaknya. Memencet satu nama, menekan tombol ‘yes’ dan mendekatkan ponsel itu ke telinganya ..
“Ke ? besok kita ketemu oke ? gue mau bicara sama elo ..”
Then, part 14 AKHIRNYAAAAA… wkwkw .. pada suka kah part ini ? saya sih suka :P *mintaditimpuk .. tapi lumayan dong panjang begini hahaahha .. semoga penantian kalian
terbalas *halah .. love you all <3 terimakasih sudah sering mendoakan PKL ku
hehehe :)
Next Part >>
Waa makin bagus kaa, makin penasaran diriku haha :p ditunggu lanjutannya ka...
ReplyDeletehuaaaa makin keren kak makin makin makin :D
ReplyDeletecepet dilanjut yaa
keren kak :)
ReplyDeletelanjuttttt kan :)
akhirnya selesai aku bacanya :D
Kalo ini sich bkand ska lagy kk...
ReplyDeleteTpi favorit bgd dah....
Lanjutan.a dtunggu scepet.a ea kk...
:)
kereeennnnn,, sumpah (y) terharu dengan ceritanya :')
ReplyDelete