Friday, December 31, 2010

Hujan Kala Itu (Sebuah Cerita yang dikalahkan)

Hujan selalu menyisakan percikan kenangan, yang tetap tak tersamar pelangi setelahnya. Sheila mendesah lalu meraih notes kecilnya, berniat mengalirkan barisan kata yang berkejaran di benaknya lewat ujung pena, tak peduli dengan guncangan kendaraan yang sedang dinaikinya.

“Dalam deru bus antarkota, aku menangkapi bayangannya yang masih menari di luar sana. Tersembunyi dalam titik-titik air yang mengetuk kaca jendela. Entah kapan aku bisa mengenyahkannya, ya tentang kamu dan hujan kala itu ..”

*
Hujan kala itu, mengawali kisah tentangnya.

‘Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api.
Yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan.
Yang menjadikannya tiada.’


Pagi itu ditemani dendang rintik hujan, dikawani kesendirian dan di dalam ruang mading yang sarat kesunyian, Sheila sedang duduk sambil menekuri sehelai kertas puisi saduran tak bertuan yang tiba-tiba tergeletak pasrah di meja panjang ruangan. “Keren,” ucapnya pelan.

“Sapardi Djoko Damono.”

Sheila hampir mencelat dari kursinya karena kaget. Ia mengangkat wajah dan terkejut mendapati siapa yang barusan bersuara.

Pemuda itu berdiri di belakang Sheila, ikut mengamati kertas puisi yang sama. Tetesan air bergelayut di ujung-ujung rambutnya. Seragam yang sedikit basah menyurukkan wangi hujan dan harum maskulin alaminya, sejenak membuat Sheila terpana. Dia Aryo Junio, kapten tim basket putra SMA mereka yang kata teman-temannya amat berbakat dan tampan. Kadang Sheila memandangi Ryo (sapaan akrab Aryo) dari kejauhan, kemudian selalu bertanya tak mengerti kenapa pemuda ‘biasa saja’ ini begitu dielu-elukan.

Ryo menyunggingkan senyum miring “Itu Aku Ingin-nya Sapardi Djoko Damono kan ? larik itu termasuk dalam buku kumpulan puisi yang judulnya Hujan Bulan Juni. Keren banget tuh.” Celotehnya lancar lalu menarik bangku di ujung lain meja dan duduk disana.

Sheila cuma melongo, dia bahkan belum pernah mendengar nama penyair tadi kalau Ryo tidak menyebutnya, karena di kertas puisi itu pun tak tertulis siapa pembuatnya. Sheila juga tidak menyangka, Ryo yang selalu mengundang jeritan histeris gadis-gadis saat beraksi di lapangan itu ternyata ‘geek at heart’ juga.

“Be-te-we. Gue numpang tidur disini, boleh kan ? Ekskul basket juga ga bakal ada nih kalau hujan begini..” Ucapan ini toh hanya basa-basi. Tanpa menunggu jawaban si penunggu ruang, Ryo langsung melipat kedua tangannya di atas meja lalu membenamkan wajah disana.

Sheila sedikit bingung, namun tanpa sadar ia tidak bisa mengalihkan pandangan dari pemuda rupawan yang saat itu mulai terlelap dalam nafas teratur.

*
Hujan kala itu, meniupkan perubahan.

Kunjungan singkat itu terhelat tiap kali hujan membisiki pagi. Saat petir menyambar kencang dan alam mulai menumpahkan tangisnya, Sheila tahu pemuda itu akan kembali.
Tak lama, ceklikan di engsel pintu membuktikan hipotesisnya.

“Kenapa ya hujan terus ?” Ryo melontarkan pertanyaan retoris yang dijawab Sheila dengan bahu terangkat. Tanya saja Tuhan, batinnya sarkatis.

Sheila sudah mulai hafal rutinitas Ryo setelah ini. Sementara dirinya menyortir artikel-artikel untuk mading mingguan, pemuda itu akan merutuk sebentar soal kenapa pelatihnya tidak memindahkan jadwal ekskul basket menjelang turnamen dari jam ke nol (sebelum upacara dan ma-pel dimulai) ke jam pulang sekolah (mengingat hujan selalu merusak waktu latihan pagi), lalu ia akan menduduki bangku yang itu-itu saja, melipat kedua tangan di atas meja, membenamkan wajah dan mendengkur.

Tapi pagi itu, Ryo tergelitik untuk menanyakan sesuatu setelah menarik bangku “Udah baca kumpulan puisi yang waktu itu gue bilang, belom ?”

Sheila menaikkan sebelah alis, mengira seharusnya Ryo sudah melayang di alam mimpi. Ia menggeleng.

“Sayang banget,” Ryo berdecak “Besok gue pinjemin deh. Itung-itung balesan buat akomodasi gratis tiap pagi nih. Oke ? Gue tidur dulu ya.” Tukasnya lalu melanjutkan prosedur tidur paginya yang tertunda.

Sheila mengerutkan kening. Dasar aneh.

*
Hujan kala itu, menadakan seuntai harapan.

“Lo suka nulis puisi ?” Ryo mengangkat tinggi-tinggi kertas yang terisi penuh oleh tulisan tangan Sheila, sementara si empunya sedang berusaha merebut kembali kertasnya.

“Ini buat konsumsi pribadi,” Rutuk Sheila pelan. Sikapnya memang cenderung introvert, tapi bukan itu sesungguhnya alas an kenapa ia tidak menunjukkan hobinya. Ia hanya merasa buah karyanya belum pantas dipublikasikan. Dan pemuda rese ini malah mengerjainya. Serius deh, dilihat dari sisi mananya sih Ryo ini dibilang keren ? Di mata Sheila, Ryo hanyalah pemuda pengantuk tukang tidur yang diam-diam mencintai puisi setengah mati.

“Ini keren banget !” kata Ryo “Yah emang belum sekeren Sapardi sih hehe ..” Ryo terkekeh, lalu tiba-tiba menatap Sheila serius.

“Tapi lo kan punya sarana ini .. Maksud gue, mading ini loh.. Kenapa ga dipajang ? Perasaan kerjaan lo cuma nyortir doang kayak tukang pos ?”

Sheila mendesah “Job-desc gue kan cuma editor, editor yang harus selalu dateng paling pagi buat milihin bahan,” katanya, lalu mencuri kembali kertas itu dan memasukkannya ke dalam tas. “Gue ga pede lagian.”

Ryo berdecak, lalu berjalan mendekati Sheila. Ia mengangkat dagu Sheila dengan telunjuknya, tanpa tahu bahwa sebuah rasa asing baru saja menyalip hati gadis yang sedang dipandanginya.

Ryo lalu meletakkan kedua tangannya di bahu Sheila, melesakkan tiap inci harapan dalam tuturnya “Lo bakal jadi penyair terkenal suatu saat nanti dan gue akan ada disana, nonton lo di baris pertama Teater Salihara. Don’t give up, Sheila !”

*
Hujan kala itu, menebalkan angan.

“Tumben ga tidur ?” Sambil merapikan tumpukan artikel issue mnggu lalu. Sheila berpura-pura tak acuh, seakan hanya bertanya sepintas, saat melihat Ryo bertopang dagu dan mengetukkan jarinya dengan gelisah.

Sheila sudah terlalu terbiasa dengan kehadiran Ryo yang selalu diiringi orchestra rintikan air di ruang madingnya, dan terlalu menikmati ketukan tak beraturan yang membuncah di hatinya saat melihat pemuda itu.

Ryo masih sibuk berfikir hingga tak mendengar ucapan Sheila, lalu menggumam agak keras.

“Emang sekarang beneran jaman emansipasi wanita ya ?”

Sheila mengangkat bahu. Lama-lama terlatih mendengar celetukan Ryo yang tidak biasa.
“Gue ditembak,” kata Ryo lagi.

Mau tak mau Sheila melongo “Hah ?”

Ryo menggaruk kepalanya salah tingkah “Gimana dong ya ?”

“Kalau suka, terima lah. Ga suka, ya tolak.” Jawab Sheila kalem, walau hatinya ketar-ketir setegah mati. Harusnya dia sadar, Ryo itu memang sasaran empuk gadis-gadis cantik.

“Gue ga suka sih,”

Sheila menghela nafas lega diam-diam “Kenapa ?”

“Bukan tipe gue aja..”

Sheila mengangkat alis, lalu baru ingat Ryo pernah bercerita bahwa ia belum pernah punya hubungan khusus dengan perempuan walau banyak yang mengejarnya. “Emang tipe lo kayak gimana ?”

“Yang kalem, ga kebanyakan dandan, ga kebanyakan cekikikan sama jejeritan.” Ryo menatapnya “Kayak lo gitu deh,” lanjtunya lalu tertawa pelan.

Sheila terdiam, baru menyadari pemuda di hadapannya memiliki lesung pipi yang menawan.

*
Hujan kala itu, membawa seutas pesan dan segenggam goresan.

Meski kebenaran itu hanya terkungkung sampai batas pintu ruang mading, Sheila tahu tak pernah ada salahnya untuk berharap. Entah bagaimana, harapan itu muncul dan mengembang tak terkendali. Harapan agar Ryo selalu menyemangati mimpinya, harapan agar Ryo terus mencekokinya dengan biografi lengkap Sapardi Djoko Damono walau sebenarnya Sheila sudah bosan, harapan agar Ryo selalu menertawakan kepolosannya. Praktisnya, harapan agar Ryo (Ryo dengan sosok berbeda yang hanya ditunjukkannya pada Sheila) bisa terus disampingnya.

Hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu soal rutinitas itu, rutinitas ‘privat’ –dalam pandangan Sheila- pagi mereka. Mungkin karena Sheila memang jarang berkeliaran di sekolah, ia tak pernah bertemu Ryo di samping jam rutin itu dan gadis itu pun tak pernah tahu ada prahara yang mengintipnya di luar sana.

Sheila mengenal Jelita sepintas lalu. Jelita adalah gadis sederhana, dua bulan lalu pindah dari Jepara, dengan kepintarannya melanglang mimpi jauh-jauh untuk mendapat beasiswa di Jakarta. Di SMA mereka.

Dan kini Sheila mendapat tambahan satu fakta, fakta yang didengarnya di pagi yang mendung itu, dari seorang pemuda yang menghampirinya dengan wajah kalut.

“Ya ampun, gue ga pernah ngerasin debar kayak gini, Sheil.” Ryo mondar-mandir. “Rasanya serba salah kalo dia lewat. Kayak ‘Sajak Kecil Tentang Cinta’nya eyang Sapardi. Mencintai angin harus menjadi suit, Mencintai air harus menjadi ricik, Mencintai gunung harus menjadi terjal, Mencintai …

Sheila merasa ucapan Ryo berdenging di telinganya lantas menghilang tak terdengar. Ada perasaan tertusuk yang merayapi hatinya. Cakrawalanya seperti runtuh. Cakrawala yang terbentuk dari tiap rinai hujan yang selalu menemani pertemuan diam-diam mereka.

“…tapi, ujungnya bagus banget, Sheil. MencintaiMu (mu) harus menjadi aku. Ya ampun, gue kedengeran cewek banget ga sih ? Masalahnya, gue bisa diketawain kalo cerita begini sama anak-anak basket. Lo kan cewek, bantu gue deketin dia dong ..”

Sheila mendesah tak kentara. Menyesal kenapa dia harus menyukai pemuda tak peka begini sih. Sheila perlahan memasang plester luka di ujung ujung bibirnya yang kini tertarik ke atas. “Gue ga bisa bantu apa-apa. Tapiii kenapa lo ga coba mulai dengan puisi aja ?”

*
Hujan kala itu, dia tidak datang.

Sheila menatapi jarum jam besar di dinding ruang mading untuk kesekian kali, dan merasa dadanya sesak. Sudah lewat lima belas menit. Ia menunduk pelan, tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Pemuda itu takkan datang lagi, untuk kelima kalinya di pagi berhujan yang telah terlewat seperti ini. Ia pun tak pernah kembali, di hari-hari mendatang yang segera hilang lalu teronggok mati.

*
Hujan kala itu, setelah tiga bulan tanpa alasan untuk bertahan.

Sorak-sorai dan semprotan pylox mewarnai kemeriahan pengumuman kelulusan. Disertai berkah tak terhingga yang dihadiahkan Tuhan bagi perjuangan semua orang, Hujan. Semua melepaskan atribut gengsi dan mulai menari di bawah rintikan yang kian membesar.

Sheila tidak berniat untuk ikut dalam pertunjukan missal itu. Ia harus cepat pulang karena sejak tadi Bunda menerornya untuk segera sampai rumah. Tak ada jalan lain kalau ia tidak menerobos hujan.

Sheila berlari kecil, guyuran air mengaburkan pandangan hingga tak sengaja menabrak seseorang yang tengah melintas.

“Sheila !” suara baritone dan wangi hujan yang khas itu.

“Hei, Yo !” Sheila mengangguk sejenak pada sosok kabur Ryo, berusaha menahan mulut utnuk tidak bertanya kenapa Ryo tak pernah menemuinya lagi. “So .. sorry gue duluan ..” Sheila berusaha menghindar dan melewati Ryo, tepat saat tangan kokoh pemuda itu menyambarnya.

Sheila membalikan badannya dan terperanjat saat Ryo memeluknya kuat-kuat. Tak lama, Ryo melepasnya, lalu meletakkan tangan di kedua bahunya dan menyambar mata gadis itu.

Sheila tak bisa lagi menghardik getaran yang menjalar di jantungnya. Diam-diam ia masih bertahan untuk Ryo. Sekadar berharap dalam gelap.

“Sheil, gue tahu gue gila. Tapi gue … gue .. gue baru sadar sesuatu .. ternyata ..”

Sheila mengangguk pelan, menunggu kelanjutan ucapan Ryo, pemuda itu terlihat berseri.

“Ternyata gue sudah jatuh terlalu dalam buat Ita. Gue mau nembak Ita, Sheil. Tiga bulan pendekatan ini udah ngeyakinin gue. Lo tahu, tiap pagi gue selalu datengin dia di kelasnya. Dia selalu dateng paling pagi. Hehe. Gue baru nemuin orang yang ga bosen sama ocehan gue soal Sapardi selain lo.”

Sheila menyunggingkan senyum lebar saat perasaan sakit menyesahnya lalu menyesak dada dan perutnya, matanya memanas. Sebutir air mata menari di wajahnya, terkamuflase tetesan air hujan yang sudah terlebih dulu disana.

“Dan lo tahu, puisi apa yang bakal gue bacain pas nembak dia ? Aku Ingin-nya Sapardi, Sheil ..” Ryo mengguncang bahunya “Kayak waktu kita pertama ketemu itu, lo inget kan ?”

Sheila tersenyum makin lebar saat air matanya dan air mata alam berlomba utnuk menjadi yang paling deras. “Bagus banget, Yo ! Bagus banget !”

“Lo emang temen terbaik gue, Sheil ! sumpah. Meski kita cuma ketemu beberapa puluh menit sehari, gue ngerasa nyambung sama lo. Lebih nyambung dari temen-temen cowok gue, thanks buat semuanya.”

Ryo mendekap Sheila lagi “Anyway, gue masih tetep mau nonton lo di Salihara. Duduk di baris depan sama Ita. Hehehe” Sheila menganggukan kepalanya di bahu Ryo dan membiarkan dirinya terbawa dalam hujan kala itu, hujan terakhirnya bersama Ryo. Hujan yang menampar dirinya, bahwa ia masih dan hanyalah seorang gadis pemimpi sederhana yang ditemukan secara tak sengaja di ruang mading yang sepi, yang mencintai lelaki perutuk hujan itu dalam diam.

*
Hujan kali ini, tak ada lagi dia.

Sheila merogoh daypack-nya, mengeluarkan ponsel dan membaca pesan singkat dari Ryo yang berisi undangan perayaan peresmian hubungannya dengan Jelita. Hari ini dan dia takkan ada disana. Takdir membawanya untuk meraih beasiswa dari sebuah institute sastra ternama di kota Bandung. Inilah warta gembira yang diberitakan menggebu oleh Bundanya di hari kelulusannya waktu itu.

Sheila sengaja memilih jalur darat dengan bus antarkota, untuk meminjam waktu dan mengutangi masa. Waktu yang diharapnya dapat dikembalikan dengan kenangan yang sudah terlupa. Ia kembali menekuri notes kecilnya, mengahpus delapan kata terakhir dan mulai menulis lagi.

“Dalam deru bus antarkota, aku menangkapi bayangannya yang masih menari di luar sana. Tersembunyi dalam titik-titik air yang mengetuk kaca jendela. Entah kapan aku bisa mengenyahkannya. Aku hanya berharap kisah ini akan terlupa, dan cerita ini akan menghilang. Seiring dengan gugus mentari yang tertelan cahaya bintang, tersesat di sela padang, tersamabar ilalang. Tertinggal jauh .. jauh di belakang.”

Jakarta, Jumat 12 November 2010
(Sebuah cerita yang dikalahkan)



Untuk Emmanuela Yudit Saron, Angeline Gunawan dan Meliyanti yang sudah pernah membaca kisah sederhana di atas tadi. Ternyata tekanan tinta di kertas ini belum sekuat itu untuk bisa menembus bata lain yang terlalu kuat berdiri.

Tapi paling tidak kuas ini takkan menyerah lantas berlari. Ia bahkan yakin bisa mengalahkan baja suatu hari nanti c;

Monday, December 20, 2010

Musikal Laskar Pelangi, Magically Stunning ! (re-posted review)

Kemarin gue sempet posting review ini, terus gue hapus karena ragu takut ga boleh dan sekarang gue posting lagi karena katanya akun twitter MLP juga udah retweet update gue soal review ini *maafsayalabil* enjoy ! c;

The truth is .. gue baru pertama kali nonton yang namanya Teater Musikal. I mean, teater musikal yang bener bener di gedung teater asli bukan drama musikal musikalan alias abal abal (mehehehe) yang biasa ditampilin kalo ada event apa gitu di sekolah -,-

Nah, jadi ceritanya Musikal 'beneran' pertama yang gue tonton setelah 17 tahun berpijak di tanah ini *hiperbol* adalah yak *drumrole* tidak lain dan tidak bukaaaaan *jeng jeng jeng* Musikal Laskar Pelangi (which will be showed from 17th of Dec this year until 9th of Jan next year c:) di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Iyaaaa teater yang baru diresmiin kemaren itu loh.

Awalnya motivasi gue dan ketiga temen gue : Ka Mely, Anind sama Prima (hai hai c;) buat nonton Musikal ini adalah karena ada idola idola kita gitu loh disini. Secara kami adalah segelintir dari jutaan ICL (idolaCilikLovers) mehehe. Mulanya karena MLP ini udah gembar gembor banget ya kan dari beberapa bulan lalu, dan karena kita udah tahu bakal ada Gabriel, Ashilla, Patton dan Bastian (yang adalah jebolan IdolaCilik) kita jadi semangat '45 banget buat cari dan beli tiket di tanggal yang ada anak IdolaCiliknya.


Nah, pilihan pun jatuh di tanggal 18 Desember kemarin yang cast list nya adalah seperti ini :

Sabtu, 18 Desember 2010

Matinee Show – 14:00 WIB



MUSLIMAH : Eka Deli

IKAL : Kelvin Joshua

LINTANG : Patton Otlivio L.

MAHAR : Daffa Eriyanda

SAHARA : Ashilla Zahrantiara

KUCAI : Dicky B. Raymardi

BOREK : Billy Titus

SYAHDAN : Willy Jackson

TRAPANI : Iqbaal Dhiafakhri R.

AKIONG : Nathanael Hendrianto

HARUN : Bramantya Dwipramadya

PAK HARFAN : Iyoq Kusdini

PAK BAKRI : Haikal

IKAL DEWASA : Nino Prabowo

dan

ENSEMBLE WARGA KAMPONG GANTONG –

Theatre Company Musikal Laskar Pelangi



note : yang gue bold adalah anak IdolaCilik hehe



Dan ternyata motivasi kita yang mulanya cuma untuk melihat anak-anak Idola Cilik aja diganjar dengan sesuatu yang diluar bayangan, yang sampai pada saat kita keluar dari ruangan pun kita masih terbengong-bengong dan bilang "Sumpah ini kita bayar segitu ga ada apa-apanya dengan yang tdi kita liat." Kami berempat pun melangkah keluar dengan wajah agak-agak terpesona bin autis. (mehehehe)

Oke gue pikir cukup kali yeee latar belakang dari gue. Sekarang gue mau nyoba review teater musikal yang 'ah-mazing' sangat ini, kayak sekarang kan kayaknya lagi happening ya review-review gitu hehe berhubung gue pemula yah maaf kalo agak gimana gitu (SFX : Woi kelamaaaaan preambule nyaaa)

Ok, check it out : (ehm ehm harus formal ..)

Musikal Laskar Pelangi digawangi oleh 'pejabat-pejabat' ternama dalam bidangnya masing-masing. Riri Riza (sutradara), Mira Lesmana (produser, naskah, lirik lagu), Erwin Gutawa (musik & komposer), Jay Subiakto (desain artistik), Toto Arto (produser), Hartati (Koreografer) adalah beberapa di antaranya. Riri Riza dan Mira Lesmana berdua tak lain tak bukan juga merupakan director dan producer dari Laskar Pelangi serta Sang Pemimpi The Movie. Diadaptasi dari salah satu serial buku terlaris yang sama dari novelis cerdas Andrea Hirata, kini mereka bertanggungjawab pula untuk menyajikan Laskar Pelangi dalam format baru : Teater Musikal. Dibagi dalam 2 babak/session, penonton takkan berhenti ternganga menyaksikan kemegahan dan kemagisan dari pertunjukan yang ditampilkan oleh lebih kurang 150 pemain berbakat ini, yang bisa disandingkan dengan West End bahkan Broadway !

Gue akan mencoba meringkas Judul-judul adegan per babak (yang setelah gue pikir pikir ga akan gue tambahin soal bocoran lagunya muahahahaha) *kabur* *gamaujadispoilertotal* *capejadiformal* -,-


Babak I :

*Overture
Adegan 1 : Inilah Kampong Gantong (Ikal Dewasa)
Adegan 2 : Menanti 10 Murid (Memulai Flashback)
Adegan 3 : 5 Tahun Kemudian
Adegan 4 : Pemilihan Ketua Kelas
Adegan 5 : Lintang
Adegan 6 : Kelas Pak Harfan
Adegan 7 : Toko Sinar Harapan
Adegan 8 : Pak Bakri
Adegan 9 : Belajar Di Luar Kelas
Adegan 10: Karnaval
*Intermission (20 minutes break time)


for :

- Adegan 1 dibuka oleh Cowok-cowok dari Theatre Company yang menurut gue pas banget sebagai awalan (kuli-kuli dan satpam PN Timah). Entah kenapa gue merinding sendiri liat kekompakan tarian nan gagah dan paduan suara tenor-bariton-bass mereka mereka itu.

- Di Adegan 'Kelas Pak Harfan' ada yang membuat gue (dan gue yakin semua penonton berdecak kagum), adegan ini adalah waktu Pak Harfan bercerita di kelas LP, tiba-tiba turun frontscreen (layar translucent yang menutupi bagian depan bak tirai panggung) dan saat Pak harfan menggerakkan tangan untuk menulis di 'papan tulis' itu muncullah titik-titik biru yang menggeliat-geliut sehingga *abrakadabra* muncullah gambar menakjubkan tentang Perang Badar (whatev' soal teknologi yang namanya proyeksi, buat gue ini magis abis sumpah)

- Aktingnya Ikal saat jatuh cinta sama 'Jari jari Cantik' si Aling bener bener 'aww' banget. Pake ada confetti segala pula dan lighting panggung langsung jadi pinky-pinky gitu muahahaha. Kalo kata anak anak sekarang "unyu unyu benjeeeet G1t03 L0o0cHh" (bacanya tolong sok imut, terimakasih) dan seriously, i can't stop humming the beautiful soundtrack from this scene.

- Gimmick-gimmick yang ngundang tawa semua orang : sepasang kambing beneran yang nginep di SD Muhammadiyah, ibu bersasak tinggi dan berkipas bulu merah nan angkuh yang bikin keki, Aling tahu tahu muncul di salah satu scene sampe Ikal mau ngejar tapi ditahan temen-temennya sampe sesi garuk-garuk pantat ga pentingnya si pemakai-kutang-dan-boxer-norak-sejati alias Bah Asiong (bokap Aling).

- Efek-efeknya (yang bikin gue bengong norak banget) : Silhoutte Effect waktu Adegan 'Lintang' kalo ga salah. Kayak ada yang capoeira/beladiri (gue juga ga ngarti) gitu deh pokonya sampe semua orang tepuk tangan kenceng banget ; Hujan buatan (tapi air beneran yang turun di panggung) waktu adegan 'Belajar Di Luar Kelas'.

- Duel rampak rebana dari Muhammadiyah dan drumband dari PN Timah, di tengah tengah battle *halah* tiba tiba anak-anak LP pada ber-rampak ria dengan irama melayu yang sangat dangdut dan bikin gue ngakak kenceng.


for :

- Entah kenapa tiba tiba di tengah babak I (kalo ga salah waktu adegan 'Pak Bakri') itu gue merasa agak membosankan gitu -,- dan ibu ibu di sebelah kanan gue pun bisik-bisik sama anaknya "Ini ngebosenin ya."


Babak II :

Adegan 1 : Kuli-Kuli
Adegan 2 : Kapur Lagi, Kapur Lagi
Adegan 3 : Semua Berduka di Timur Belitong
Adegan 4 : Muslimah
Adegan 5 : Cerdas Cermat
Adegan 6 : Perginya Si Cemara Angin
Adegan 7 : Berita Dari Lintang
Adegan 8 : Kembali Ke Kampong Gantong
*Curtain Call


for :

- Lagi-lagi pembuka setelah Intermission itu adalah para Kuli-kuli dari Theater Company yang bener-bener ngebakar semangat penonton untuk kesekian kalinya.

- Di Adegan 'Semua Berduka di Timur Belitong' gue bener bener ngerasain feel 'kesuraman' nya. Dengan sosok sosok misterius bersarung, kuli-kuli dengan bahu lunglai, ibu-ibu yang menampi sejumput (bener-bener cuma seiprit) beras dalam bungkusan kain kumal. Hmmmm keren

- Properti waktu 'Cerdas Cermat' itu benar benar bikin semua penonton duduk tegak di kursinya. Ada papan dengan lampu neon kuning dan merah bak broadway tapi berformat papan skor lomba digital instead of tulisan 'BROADWAY'. Dan lagi-lagi frontscreen translucent ih-waw itu yang muncul waktu Lintang menjabarkan hitungannya yang dibilang jawaban salah sama si ibu-nyolot-sasak-tinggi-pengen-gue-jambak.

- Konsep keren di adegan 'Perginya si Cemara Angin' antara Lintang yang rindu sama ayahnya dan Ikal yang kangen sama sahabat jeniusnya, Lintang. Mereka berdiri di tengah panggung yang sama, hanya berjarak beberapa centi, hanya bersekat udara, tapi mereka tidak saling melihat, tidak saling menyadari keberadaan masing-masing. Saat Ikal melangkah ke titik fokus Lintang, Lintang sendiri mulai menari ke lingkaran cahaya Ikal. Ditambah lagu 'Menanti Ayah, Menanti Lintang' gue merasa lutut gue lemas dan gue cuma bisa bilang "aaaaah" (so sweet)

- Gue harus jujur air mata gue hampir netes saat Lintang nyanyi 'Salam Perpisahan' di adegan 'Berita dari Lintang' gue yang merinding-rinding disko gimana gitu. "Anak sekecil itu, harus menahan beban sebesar itu," (kira-kira begitu) kata Bu Mus. Gue cukup terhenyak saat Ikal meraung melihat punggung Lintang menjauh, mungkin Ikal tahu dia bisa mengejar tubuh itu, tapi kenyataannya dia takkan bisa meraih masa depan untuk Lintang juga toh ? Karena saat itu, dirinya sendiri pun masih menjadi salah satu tikus yang paceklik di lumbung padi.


for :

-Entah kenapa menurut gue waktu Adegan 'Muslimah' itu lagunya kepanjangan -,-

(Sejujurnya gue agak ragu memasukkan poin poin berikut di thumbs-down, tapi ya sudahlah -,- Mungkin karena sutradara dan produsernya sama seperti format layar lebarnya, maka ada beberapa adegan yang gue sampe bilang "Dih, mirip banget sama filmnya" yah kan biar gimana gue meng-expect ada yang beda dong mehehehe *ogahrugi , seperti :)
- Waktu Ikal tahu Aling pergi ke Jakarta tiba-tiba ada barang-barang runtuh.

- Waktu anak anak LP mau ikut lomba cerdas cermat mereka sempat latihan di kelas dan itu sumpah pertanyaannya sama semua kayak di film -,-

- Waktu Bu Mus nemuin Pak Harfan udah meninggal itu posisinya sama-sama lagi tidur menelungkup di meja, bahkan ada termos jadul yang letaknya persis kayak di film -,-


Dibalik kelebihan dan kekurangan diatas, gue takjub banget sama musikal ini, Curtain Call (manggilin pemain satu-satu) pun masih bisa bikin penonton terpingkal-pingkal ngeliat pemain pada heboh mehehehehe.


Sekali lagi gue mau bikin thumbsup and thumbsdown buat keseluruhan acara c;

for :

- Teater Jakarta itu serius keren banget. Meskipun gue di lantai tiga (fyi, gue beli tiket yang kelas 3) tapi keseluruhan main stage bener-bener keliatan jelas dan gue bisa nikmatin acaranya karena sistem pe-nonaktif sinyal yang menajubkan di dalam ruangan. Jadi sewaktu nonton ga akan terganggu deh sama bunyi kling kling ibu sebelah lagi BBM-an, cewek di depan telpon-an ama pacarnya mehehehe.


- Propertinya yang sumpaaaah bikin gue cengo pertama-tama. Gue baru tau kalo properti teater yang segede bagong itu kebanyakan ditarik ke atas. Di MLP sih ya kayaknya cukup sedikit props yang digeser ke kanan-kiri panggung. Propertinya itu bener-bener yang mendetil dan amazing banget lah. Mulai dari gedung beserta pagar kawat PN Timah, Rumah Bu Mus, Bukit bukit jerami kecoklatan, SD miring Muihammadiyah, Rumah Bu Mus, Warung Kopi, Rumah Lintang, Perahu ayah Lintang, gapura 17-an bisa jadi satu buku sendiri kalo gue sebutin semua propsnya -,-

- Lagu dan musiknya yang bener bener menyihir. Melantunkan narasi dari buku setebal Laskar Pelangi lewat aransemen nada yang memukau milik para pemain. Dan lirik-lirik lagunya itu bener-bener edukatif. Ada pelajaran sains dan matematika yang terselip di dalamnya. Kewl c; Alunan-alunan not itu bikin semua penonton pengen joget, pengen ngapalin liriknya biar bisa ikut nyanyi bareng, pengen cepet-cepet beli cd soundtracknya hehehehe.

- Pemain yang kayaknya 'paaaaas' banget terutama Maharnya kali yaaa. Ya ampun sumpah Maharnya beneran petakilan, kutu loncat, ga bisa diem bisa bikin orang geleng-geleng kepala padahal cuma liat gestur isengnya doang.

- Event booknya bagus *poingapenting*



for :

- Sayang banget ga ada bagian Tuk Bayan Tula sama Flo di Musikal ini. Coba kalau ada terutama yang Tuk Bayan Tula, gue bisa ngebayangin gimana spooky tapi kewl-nya setting dan props panggung nanti. Hmm

- Sempet ada suara 'krek' yang cukup kenceng akibat flybar yang agak ngadet mungkin.

- Kayaknya anak-anak LP yang paling disorot cuma Lintang, Ikal, Mahar, Sahara dan Kucai. Gue ngeliatnya si Akiong, Borek, Trapani, Harun, Syahdan cuma pelengkap. (Ga bisa disalahin juga sih karena di buku juga yang paling menonjol Trio Ikal-Lintang-Mahar hehe) -> so why am i bothering ? -,-


Overall, gue bener bener takjub sama musikal ini. Teater Musikal pertama yang gue tonton dan gue rasa ga akan pernah gue lupain hehehe. Gue bener-bener kasih standing ovation buat semua yang terlibat terutama bagian Suppliers Set, Special Effect, Lighting Team, Multimedia Team yang bikin musikal ini sangat worth to watch ! (im not kidding, semua penonton pasti tepuk tangan di setiap pergantian adegan)


Believe me, Lo ga akan nyesel merogoh kocek lo untuk menonton teater musikal ini. Yang gue jabarin ini sangat tidak ada apa-apanya dengan kemagisan yang bakal lo liat sendiri dan bikin lo ber "ooh" dan ber "aaah" tanpa henti.

So, just tighten your shoes lace, go to the nearest ticket box and grab the magic !

note : the image of Teater Jakarta, TIM is courtesy of Musikal Laskar Pelangi's official website ; the cast list is copied from Musikal Laskar Pelangi's facebook account

Tuesday, November 2, 2010

Lost in Town (Re-Post)

Gue nemu blog gue pas masih jaman friendster dulu (jadul banget ga tuh) http://sayabingungcarinamablog.blog.friendster.com/, waktu masih awal awal kelas 1 SMK ahahaha jadul abis .. Gue mau mindahin beberapa .. Ini salah satu posting favorit gue .. :) ceritanya gue kesasar beneran .. posting ini sumpah lebay banget guenya hahahaha

Lost in Town
August 2nd, 2008 by sayabingungcarinamablog

kesasar.. mungkin bukan merupakan kata yang enak di telinga.. dan juga bukan kata yang enak untuk di jalankan (ya iya Laa..).. memang ada yang mau kesasar?? (hayo, ngacung..), nanti saya SENSUS terus saya ajak muter" jakarta and saya tinggalin di tempat yang gag dikenal..

tapi SAYA MENGALAMINYA SENDIRI KEMARIN!!!! ya.. SAYA KESASAR SAMPAI CIPUTAT!!! padahal rumah saya di Slipi..

bener" deh.. pengalaman yang gag mw saya ulang.. untung aj, saya lagi bwa uang yang cukup.. kalo gag, djamn saya gag bakal bisa pulang..

kejadian berawal dari DI USIRNYA SAYA DAN TEMAN-TEMAN SAYA DARI CITRALAND, karena kami kesana pakai SERAGAM.. akhirnya, kami pun pulang dengan gontai (halah)..

karena teman-teman saya pada pulang naek busway, saya pun pulang sendirian naek bus umum.. entah karena saya ngantuk atau MATA SAYA RABUN SESAAT, saya malah naek BUS 86, dan BUKANNYA BUS 88.. masalahnya, angka 86 di bagian depan Bus itu MIRIP BANGET dengan angka 88!! bukan salah saya dong, kalau saya salah naek??!! +ngedumel, nyalahin yang bikin angka+

begitu melewati Slipi, SAYA KIRA bus itu akan muter lewat bawah jembatan.. ternyata bus itu NAIK MELEWATI JEMBATAN!! dengan TOLOLNYA saya berpikir "akh, paling muter lewat jalan lain.." dan jadilah SAYA TETAP DI BUS ITU!!!

perlahan-lahan saya mulai cemas.. saat bus tersebut melewati senayan, saya sudah penasaran mau melihat lebih jelas ke angka di depan bus itu.. dikarenakan PENUMPANG YANG BERDESAKAN, saya sama sekali tidak bisa melihat angka di depan bus tersebut..

masuk ke kawasan Simprug, saya tambah pasrah.. saat bus masuk ke kawasan permata hijau, saya sedikit tenang.. "nanti gue turun kalau ada angkot 09 aja deh" pikir saya, karena biasanya dari permata hijau ke slipi saya naik M09..

tak berapa lama, bus ternyata malah sudah masuk ke Arteri Pondok Indah.. "MATI GUE!!" kata saya tersadar.. dan ketika melewati PIM 2, saya baru berpikir "pulangnya gimana nih??!!!!"

dan ketika saya melihat keseliling.. "HAH?! CIPUTAT??" maklumlah, saya ini anak JakBAr, saya belum pernah ke Jakarta Selatan sejauh itu..

dan sampailah bus itu ke STASIUN LEBAK BULUS , stasiun yang selama ini cuma saya lihat di TV..

saya terus berdoa dalam hati "Tuhan, tolong aku..".. saat itulah saya melihat ‘malaikat’ dalam bentuk supir angkot 03 yang sedang berteriak "BAYUR!! BAYUR!!"

begitu sadar angkot itu akan menuju ke Kebayoran Lama (di otak saya langsung muncul gambar M09 dan M11), saya pun langsung naik ke angkot itu..

selanjutnya, penjelajahan saya (halah) berlanjut.. dari Stasiun Lebak bulus saya meluncur ke.. hmm.. kebayoran lama(sejujurnya, saat saya naik angkot itu, saya masih takut tersasar).

lalu, setelah beberapa belas menit perjalanan yang melelahkan, angkot 03 itu memasuki pasar kebayoran lama ("waduh.." kata saya dalm hati waktu itu).. dan saat itu muncullah ‘malaikat’ ke-2 dalam bentuk supir angkit M09 yang berteriak "TENABANG!! TENABANG!!"

saya langsung turun dari 03 (setelah membayar tentunya) dan menaiki M09 penyelamat itu.. dan M09 itu pun melewati jalan-jalan yang sangat saya kenal!!! ("fiuhh.. thx God..")

tak berapa lama, saya baru sadar.. hanya M09 itu yang terlihat di sana.. mungkin itu kiriman Tuhan atau apa..

yang jelas saya cukup bersyukur bisa kesasar.. saya bisa belajar untuk LEBIH TELITI dan sekalian jalan-jalan..

hwhwhw..


lebay banget yak gue dulu kalo ngepost hahah .. nanti mau ngepost yang jadul lagi aaaah .. yang mau liat aslinya ada di link yang di atas tadi itu :)

Saturday, September 25, 2010

Love Command (Part 15)

Kabut yang dulu mengaburkan pandangan itu kini membutakan. Menumpulkan penglihatan. Menghantamnya dengan kenyataan bahwa ia harus merelakan. Dan meninggalkan serpihan hatinya menjadi kenangan.
*

Wanita itu turun ke dapur dan membuka rak makanannya. Mencari-cari apa yang dibutuhkannya untuk bisa tetap terjaga dan melanjutkan persiapan bukti perkara kliennya yang naik banding esok hari. Akhirnya, ia menemukan yang dicarinya, kotak kardus kopi karamelnya, yang ternyata …. Kosong.

Wanita itu menghela nafas, sia-sia ia menempelkan memo kecil bertuliskan “Mom’s Possession” di sisi depan kardusnya. Ia yakin, kemarin malam masih tersisa satu bungkus kopi karamel di kotak ini. Siapa yang mengambilnya ?

Mbok Tati ? yang anti dengan segala jenis kafein yang katanya bisa membuat umurnya memendek ? tidak mungkin. Suaminya ? yang jelas-jelas lebih menyukai kopi hitam pekat ? tidak mungkin. Kalau bukan mereka, berarti … wanita itu membuang kotak kosong di tangannya, keluar dari dapur, melewati ruang tamu dan menaiki tangga menuju kamar anak semata wayangnya.

Ia mulai mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Mana mungkin anaknya sudah tidur sebegini awal ? ia mengetuk lebih keras, mengangkat bahu karena tidak mendapat jawaban dan akhirnya memutuskan untuk membuka kenop pintu di depannya.

Wanita itu mengerutkan kening, tidak terlihat tanda kehidupan disini. Tapi …. Ia mengedarkan pandangan dan melihat pintu menuju balkon terbuka. Ia melangkah pelan menuju balkon. Dan melihat anak lelaki semata wayangnya sedang duduk memunggunginya, serius memperhatikan ponsel, menghela nafas setelahnya lalu meletakkan ponsel itu di meja balkon yang terletak diantara tempatnya duduk dan satu bangku lainnya.

Wanita itu melihat lebih jauh. Lalu menemukan sebuah cangkir yang terletak di dekat ponsel anaknya tadi, dia tahu aroma isi cangkir itu. Kopi karamel. Wanita itu tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala, lalu menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu balkon dan mendekap tangannya di dada sambil berkata pelan.

“Pat ?”

Patton tersentak, lalu menoleh ke belakang, terkejut mendapati siapa yang berdiri disana “Mama ?”

Mama tersenyum kecil. Membatin dalam hati apa anaknya ini sedang melewati masa transisi akil-baliq atau apa, sehingga akhir-akhir ini bertingkah seperti orang linglung.

“Sejak kapan kamu minum kopi ?” Tanya Mama, lalu mulai berjalan dan duduk di bangku satunya, yang kosong.
Patton cuma mengangkat bahu.

“Pat, jangan sampai Mama tahu kamu pakai …”

Patton menatap Mama sedikit kesal “Ya ampun, Ma .. percaya deh … aku ga lagi pakai obat atau apapun yang Mama pikirin.”

“You acting weird, lately .. You know ?” kata Mama

Patton menatap ke depan lagi. Melamun menatap langit di atasnya. Menghela nafas pelan. “Ma ..” ucapnya pelan.

“Hmm ?” Tanya Mama, yang memutuskan meneguk kopi karamel Patton yang tergeletak di meja. Ya, daripada dia tidak minum kopi itu sama sekali.

“Pernah ga .. Mama ga mendapat sesuatu yang Mama inginkan ?” Tanya Patton.

Mama mengerutkan kening “Maksudnya ?”

“Mama terlanjur sayang, bukan hanya sekedar ingin, pada sesuatu. Tapi ternyata sesuatu itu bukan buat Mama..” ujar Patton setengah melamun.

Uh-oh. Mama mulai mendapatkan maksud Patton dan muali menyadari kenapa Patton sering bertingkah aneh akhir-akhir ini. Anak lelakinya itu sedang jatuh cinta.

“Oh, jadi ini masalah cewek ? You are in love, aren’t you ?” mama tersenyum lebar.

“Maaa ..” Patton memutar bola matanya.

Mama tersenyum kecil, lalu bangkit dari duduknya, mengusap sayang kepala anak lelakinya yang sudah beranjak dewasa.

Patton menatap Mama yang sekarang sedang berdiri di depan balkon. “Ga semua yang kamu igninkan, akan kamu dapatkan, Pat. Sekalipun saat kamu sudah memiliki semua hal lain di dunia kecuali dia.”

Seekor capung terbang melintasi malam, lalu hinggap di atas balkon, tempat Mama berdiri di dekatnya.

“Kadang dia sudah sedekat ini,” Mama menjengkal jaraknya dengan capung itu “, dan kamu terlalu egois .. merasa kamu akan mendapatkannya ..” Mama mengendap pelan lalu berusaha menangkap capung itu, yang kini terbang ke langit-langit, menyadari adanya bahaya.

Mama membalikkan badannya, memandang Patton lalu mengangkat bahu “Tapi ternyata dia terbang menjauh .. terjemahan : dia memang bukan buat kamu.”

“Tapi .. ssssh ..” Mama membalikkan badannya lagi, lalu meletakkan salah satu siku tangannya di atas balkon, mengacungkan satu telunjuknya ke atas. Patton mengerutkan kening. Lalu baru menyadari apa yang terjadi, tak berapa lama capung itu hinggap di telunjuk Mama.

Mama menoleh ke belakang, berbisik pelan “Pada saat yang tepat, dia akan datang sendiri menghampirimu .. dan kamu ..” Mama menangkap capung di telunjuknya dengan tangannya yang lain. Berjalan pelan ke arah Patton lalu menyusupkan capung itu ke tangan Patton.

“.. akan mendapatkannya ..” Mama meneruskan kata-katanya, lalu mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum jahil.

Patton menatap capung yang kini meronta minta dilepaskan di tangannya, lalu menyadari Mama sudah berjalan keluar menuju pintu kamarnya.

“Ma ?”

Mama menoleh pelan “ya ?”

“Thanks.” Patton tersenyum manis.

Mama membalas senyum Patton “Anytime..”

Patton kembali memperhatikan capung di tangannya. Menyadari perumpamaan Mama, Mama mengerti. Capung itu bukan menggambarkan Shilla, tapi menggambarkan perasaannya pada Shilla. Patton kembali membuka pesan yang tadi dibacanya sebelum Mama datang.


Pat, aku sudah menemukan badai itu. Bantu aku untuk menguraikan padanya ya ? karena … dia tampaknya terhisap badai yang sama :)

Sender : Shilla :)


Patton merenung. Bukankah ini sebenarnya tujuan rencananya selama ini ? Rencana yang sudah dibuatnya, bahkan sejak pertemuan pertama mereka. Dia tidak pernah hadir untuk menjadi rival Rio, tapi untuk membantu Shilla dan teka-tekinya. Walaupun itu berarti membantu Shilla menjaring badai bersama Rio.

Patton melepaskan capung di tangannya. Membiarkannya terbang ke l;angitnya sendiri.

Aku juga sudah bisa melepaskan kamu, batinnya.
*

“Jadi ?”

Shilla memutar bola matanya dan tersenyum “Kamu tahu aku sudah memecahkan teka-teki itu ..”

Patton tersenyum, menstarter dan melajukan mobilnya melewati gerbang hitam menjulang mengerikan itu “Well, gue kan ga tahu detilnya ..”

“harus ya ?” kata Shilla sambil tersenyum.

Patton mengangkat bahu dan tersenyum “Hey, you seems in a very good mood today .. you smile as much as never before .. pengaruh kesuksesan-teka-teki-terpecahkan kah ?”

Shilla mencubit lengan Patton “Jangan gitu .. aku lagi malu ..”

“Kenapa malu ?”

Shilla tertawa kecil, pipinya bersemu merah “Soalnya tadi pagi aku ketemu dia, terus ..”

“Terus ?”

“Terus dia natap aku dan bilang selamat pagi .. hehehe ..”

Patton menggeleng-gelengkan kepala, padahal dalam hati meringis juga. Ya sudahlah … batin Patton .. yang penting dia bahagia .. Patton membiarkan Shilla berceloteh riang soal kemarin malam. Setiap kata yang diucap Shilla, mengirisnya. Ternyata, merelakan bukan berarti ia lantas terbebas dari rasa sakit hatinya.

“Dia ngobatin aku, Pat .. Rio gitu loh bisa ngobatin orang … terus dia keceplosan bilang kalo dia .. “

“Kalo dia ? lo kenapa jadi suka ngegantung kalimat gini sih ?”

Wajah Shilla bersemu lagi “Kalo dia sayang sama aku ..”

Patton mengangguk pelan. Keceplosan ya. Betapa dia berharap bisa keceplosan juga saat ini. “Terus maksud lo dengan sms kemaren malem ? lo mau gue bantu menguraikan apa ? jawaban essay ?”

Shilla menatap Patton dan melotot lucu “Gimana sih .. tukang bikin perumpamaan, ga bisa nebak perumpamaan.”

Patton cuma tersenyum.

“Dia .. dia ga minta jawaban, Pat. Tapi aku mau dia tahu perasaanku juga .. Aku ga mau menyesal suatu hari nanti, karena ga pernah bilang. ..”

Jawaban yang cukup telak untuk Patton. Seperti menyindirnya.

“Kapan ?”

Shilla mengerucutkan bibirnya “Hari ini mungkin .. pulang sekolah .. ga mungkin di rumah .. jadi mungkin di sekolah aja ..”

“Oke, nanti pulang gue ke sekolah lo lagi, as usual.”

Meskipun ‘as usual’ kali ini harus disertai sakit hati yang akan dirasakan Patton sebentar lagi.
*

Pelajaran jam terakhir hari itu adalah pelajaran kosong. Pelajaran Bu Winda sebenarnya, namun beliau tidak masuk karena sedang sakit, kata guru piket. Shilla menghela nafas, menepuk-nepuk jantungnya yang kini benar-benar tidak tahu aturan. Ia yakin, orang yang berada 5 mil jauhnya dari sini pun, pasti bisa mendengar detak jantungnya.

Tapi kenyataannya tentu saja tidak. Shilla menyadari siapa yang membuat jantungnya berdegup begitu keras. Hanya satu sebenarnya, Rio yang duduk di belakangnya. Ia harus menahan keinginannya untuk terus menoleh ke belakang dan menatap wajah Rio yang tampan itu.

Seperti biasa, kelas mulai gaduh. Ketidakhadiran guru di jam terakhir adalah bentuk berkah tak terhingga setelah seharian berhadapan dengan pelajaran eksakta macam Kimia dan Fisika. Kegaduhan itu terhenti saat tiba-tiba seseorang memasuki kelas mereka. Dagunya terangkat tinggi, wajah cantiknya tampak tak peduli dan ketukan sepatu Gosh-nya membuat segenap perhatian tertuju padanya.

Keke berjalan tegap menuju meja Rio. Membuat seisi kelas memperhatikannya. Menanti drama macam apa yang bakal terjadi. Shilla sampai memutar tubuhnya ke belakang.

Rio menghela nafas keras, memandangi Keke yang berdiri angkuh di samping mejanya.

“I’m pretty sure that we still have a date today ..” kata Keke, to the point. Menekankan kata ‘date’ tepat sasaran. Tak mengacuhkan ‘rakyat jelata’ yang sedang menonton aksinya.

Rio memandang sekilas ke arah Shilla, yang sempat tertegun lalu pura-pura memandang langit-langit dan memutar tubuhnya kembali ke depan. Rio yakin Shilla sedang berpura-pura tak acuh.

Rio menatap Keke lelah, yang hanya dibalas senyum manis oleh Keke. Keke mendekatkan bibirnya ke telinga Rio “You have promised me .. Finish it, now or never.” Keke menjauhkan tubuhnya, lalu berjalan angkuh keluar, setelah sebelumnya melempar pandangan membunuh pada Shilla.

Shilla tidak mengerti apa yang terjadi, meskipun dia memang tidak berhak mengerti. Tapi .. apakah Rio masih berhubungan dengan Keke, lalu yang kemarin .. Shilla mendengar grasa-grusu di belakangnya dan akhirnya melihat Rio berjalan melewatinya. Shilla menghela nafas panjang.

Rio sempat menoleh ke belakang sejenak, berniat memberikan senyum menenangkan pada Shilla. Tapi ternyata gadis itu sedang menunduk, entah mencari apa di lacinya. Rio mendesah pelan. Yang penting dia harus menunaikan janjinya pada si ratu mulut cabe dulu.

Shilla meraih ponselnya sambil menenangkan dirinya sendiri. Udahlah jangan negative thinking .. batinnya .. Keke kan emang suka melebih-lebihkan.

1 message received

Shil, keluar jam brp ?
Sender : Patton

Shilla mengetik balasan sambil melirik ke arah jam dinding di kelasnya. Sepuluh menit lagi bel akan berdering.

Sepuluh menit itu pun berlalu. Shilla segera membereskan alat tulisnya. Tersenyum pada Deva dan Ify yang masih belum berberes.

“Aku duluan ya ?” Tanya Shilla.

Deva mengangguk, sementara Ify sedang sibuk berbicara serius di ponselnya sehingga tidak membalas ucapan Shilla. Shilla memberi isayarat pada Deva agar menyampaikan pada Ify bahwa ia pulang terlebih dahulu.

Setelah Deva menggumamkan iya, Shilla pun mengambil langkah panjang menuju elevator. Ia memasuki elevator bersama dua gadis lain yang sibuk berbicara heboh.

“Well, that couple is totally hot. Ya, meskipun gue ga suka sama Keke .. tapi harus diakui mereka cocok .. Lo tahu ? tadi tumbenan mereka makan siang bareng .. Yah, kita tahu mereka udah deket selama ini .. tapi hari ini mereka keliatan lebih ..”

“Lebih apa ?” sahut temannya.

Si Gossip Queen melanjutkan “Lebih hidup .. lebih mesra aja gitu ..”

Ting .. elevator berhenti di lantai paling bawah. Shilla tersadar lalu berjalan agak linglung keluar. O .. ke jadi apa maksudnya dengan pembicaraan tadi ? couple mana yang dibicarakan ? Keke- Rio ? Rio ? Riiiooo ? Shilla menghela nafas tidak mengerti, menuruni undakan depan lalu tersenyum kecil sambil berjalan ke arah Patton, yang sedang bersandar di kap mobilnya.

“Hmm ?” Patton menyadari aura kecemasan itu lagi “ ada masalah ?”

Shilla tersenyum pelan “No .. I hope not ..”

Patton mengangkat sebelah alisnya “Never mind .. boleh pinjem hape ? hape gue barusan lowbatt terus sekarang mati ..”

Shilla menyerahkan ponselnya pada Patton.

“Hei, hari ini jadi .. ‘Katakan Cinta’ ?”

Shilla mengangkat bahu “mungkin ga sekarang ..”

“Kenapa …”

Pertanyaan Patton diputus pembicaraan gaduh sekelompok gadis yang melewati mereka.

“Cheerleader audition .. pasti seru banget .. mungkin bakal lebih seru dari sesi latihan biasa ..”

“Oooh .. mau liat berapa banyak yang cukup bodoh menganggap cheerleading itu gampang ?”

“Atau berapa banyak yang bakal dipermaluin sama Keke ?”

“Both .. Hahahaha .. Cheers jadi makin seru sejak Keke jadi ketuanya .. too much drama from the Queen Bee ..”

Patton tersenyum ke arah Shilla “Keke yang pernah lo ceritain itu ? yang lo usap mukanya pake lap sampah ? yuk, gue penasaran liat mukanya ..” Patton menarik tanagn Shilla menuju arah gerombolan cewek itu berjalan.

Audisi cheerleader diadakan di taman belakang sekolah. Taman belakang yang biasanya relatif sepi, kini terlihat lebih ramai dari biasa. Tim inti cheerleader tahun ini, dengan Keke sebagai ketuanya, sedang berlatih. Mengintimidasi para juniornya untuk bisa menjadi sama kerennya dengan angkatan tahun ini.

Rupanya mereka datang agak terlambat untuk pertunjukan pembuka itu, tim inti melakukan gerakan penutup yang manis dengan Keke berada di puncak Piramid. Tampak tetap cantik walau keringat membasahi wajahnya. Shilla harus mengakui, selain bakat sombong dan menyindirnya yang luar biasa, Keke memiliki bakat cheerleading yang tak terkalahkan. Di dukung percaya dirinya yang tinggi. Kalau Shilla ? ia mungkin lebih memilih memanjat Monas, daripada menggerak-gerakkan tubuhnya di depan orang banyak.

Shilla tiba-tiba tersadar. Kalau gossip itu benar berarti sekarang disini juga ada .. Rio. Shilla melihat lelaki itu berdiri tidak jauh di depannya. Sedikit tampak terganggu, tapi tersenyum saat Keke menghampirinya setelah Keke meneriakkan “break bentar ..” pada timnya .. tunggu .. Rio tersenyum ? pada Keke ?

Pandangan Shilla kini tertumbuk pada dua sosok itu. Hatinya bertalu-talu dan perutnya dicekam kepakan kupu-kupu yang membuatnya mual. Menanti epik apa yang akan terjadi setelah ini. Dan apa akibatnya pada perasaannya. Ia meramalkan sesuatu yang kurang baik. Apa ‘pertunjukan’ yang dilihatnya setelah ini akan membuatnya meragukan kebenaran pernyataan Rio semalam ?

Kini, Rio berjalan mendekati Keke, mengambil handuk kecil di bangku besi dekat situ. Lalu, perlahan, mengusap peluh di wajah Keke. Mula-mula dahinya, lalu kedua pipinya.

Shilla tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Apa yang sedang diperbuat Rio sebenarnya. Patton pun ikut tergugu, tidak tahu harus melakukan apa, menyelamatkan Shilla dari sini atau apa.
Sementara, Shilla mematung melihat betapa .. betapa lembutnya Rio melakukan itu pada Keke. Seperti saat mengobati kakinya semalam.

“Ke ..” Rio berkata pelan “kenapa harus disini ?”

Keke tersenyum manis, semanis White Witch saat meracuni Edmund Pevensie dengan Turkish Delight-nya. “Karena kita harus meyakinkan, yo .. jangan melankolis begitu .. kenapa ? apa karena ada gadis-mu disini ?”

Rio menatap nyalang Keke “Maksudnya ?” Rio mengedarkan mata sejenak dan mendapati Shilla sedang menatapnya tak percaya. Ada kegalauan yang sarat disana, membuat Rio ingin berlari menenangkannya. Rio juga menyadari ada Patton di belakang gadis itu.

Keke menepuk pipi Rio pelan “Senyum, yo .. bukan begitu cara memperlakukan pacarmu ini ..”

“Ke, please ..” Rio menatap Keke dengan pandangan memohon “gue udah akting jadi pacar lo seharian ini ..”

Keke pura-pura berpikir keras, lalu menggeleng “Belum .. kamu belum total akting jadi pacarku .. dan aku ga suka sesuatu yang ga total ..” Keke menepuk pipi Rio lagi “lakukan lebih baik ..”

Rio mencuri pandang ke arah Shilla, cemas akan apa yang dipikirkan gadis itu sekarang. “Terus mau lo apa ?”

Keke berbisik ke telinga Rio “Say that three magic word and treat me as your girl ..”

“Ke ..” Rio bertekad menjelaskan pada Shilla setelah ini.

“No compromise .. kamu udah janji, oke ? aku cuma minta satu hari jadi pacar kamu, SATU hari .. dan Aku ga bakal ganggu kamu lagi .. kamu kan yang minta aku ngejauh kemarin malem ..” Keke menuding dada Rio namun tetap tersenyum manis.

Shilla tidak mendengar perdebatan Rio dan Keke. Ia tidak berada cukup dekat untuk bisa mendengar. Yang jelas dimatanya, mereka berdua sedang berbincang entah apa. Dan Shilla tak pernah melihat senyum Keke semanis itu.

Shilla sedang menunggu bom itu disulut, sehingga ia tidak sadar bahwa ia berjalan lebih dekat ke arah Rio dan Keke.

Rio menatap Keke “ I …” Oh Tuhan, Rio benar benar muak diperlakukan seperti ini dan dia ingin mengakhiri semua secepatnya.

Keke mengangkat alis dan tersenyum “Rio Rio … tatap mataku dan beraktinglah dengan baik .. atau perjanjian kita ba ..”

Rio menaruh telunjuknya di bibir Keke, lalu memandang mata Keke, berusaha membayangkan kedua mata Shilla, dan menamatkan episode kisah memuakkan hati itu “I love you ..” katanya lembut.

Kedua mata Shilla mebelalak dan bom itu meledak. Kepakan kupu-kupu di perutnya menggila. Shilla mungkin tidak mengerti apa yang terjadi, tapi dia tahu arti tiga kata yang diucapkan Rio barusan. Semudah itukah Rio mengatakan cinta ? semudah itu ?

Shilla berusaha melakukan penyangkalan dari apa yang didengarnya, namun ternyata penyangkalan itu meracuni organnya dari dalam. Shilla menatap Rio tidak percaya. Sekarang hatinya jatuh berserak. Namun, perasaan Shilla yang sudah terlalu dalam pada lelaki itu membuatnya tidak bisa mengeluarkan sumpah serapah, bahkan dalam hatinya. Ia terlalu menyayangi Rio.

Patton menepuk pundak Shilla cemas. Ia juga bisa membaca gumaman Rio tadi. Si brengsek Rio, kalau ia menyebutnya sekarang.

Shilla menoleh ke arah Patton, berusaha keras agar air matanya tidak merebak “A .. aku pulang duluan ..” katanya linglung lalu berjalan terseok-seok.

Patton membuang pandangannya ke arah Rio. Lalu baru menyadari ponsel Shilla masih ada di tangannya.

Rio melepaskan telunjuknya dari bibir Keke, mendesah “Are you happy now ?” Rio mendengus lalu berjalan menuju semak-semak menjauhi Keke yang masih mematung.

Drrt .. Drrrt .. Ponsel Rio berdering menandakan ada pesan masuk


Tetap di tempat lo berada sekarang. - P.
Sender : Shilla

Rio menoleh ke kanan dan ke kiri. Siapa P ? pikirnya. Suara semak-semak lalu menghadirkan sosok yang selama ini selalu ia anggap rivalnya. Patton. Lelaki itu sedang memegang ponsel Shilla. Patton menatapnya dengan ketenangan semu, yang siap meledak kapan saja.

“Serahin dia ke gue.” Kata Patton.

“Emang gue lagi nyulik orang ya ?” tanya Rio. Kini dia dan Patton berjalan berputar, mengelilingi lingkaran tak kasatamata, dengan jarak sempurna yang sama, terlalu berbahaya utnuk dirubah.

Patton tertawa sinis “Ga usah pura-pura bego.”

Rio mendesah pelan, menghentikan langkah berputar ala film-film actionnya tadi “Oke .. ini semua ga seperti yang Shilla atau lo liat ..”

“Oh .. ya ?”

Rio mengangkat bahu “Buat apa juga lo minta gue nyerahin dia ? dia belum dan mungkin ga akan pernah jadi milik gue ? she’s totally crush on you, anyway ..”

Patton berdecak “Lo ga tahu apa yang baru aja bakal lo dapetin kalo lo ga brengsek kayak tadi .. Dia mau ngasih lo jawaban, yang ga lo minta ..” Patton berjalan mundur, tersenyum sarkatis pada Rio.

“Tunggu …” ucap Rio
*

Shilla berjalan tersaruk-saruk seperti zombie. Buta arah. Entah dia sedang berjalan kemana, yang jelas belum begitu jauh dari sekolahnya. Ia tidak percaya. Rio ternyata ….. Shilla memejamkan matanya, berusaha menyangkal sakit di dadanya. Puzzle yang sudah terpasang semua itu kini hancur. Bukan hanya satu keping. Semua keping puzzle itu terserak berantakan dan ia harus menatanya lagi, suatu hari nanti.

Tiiin .. tiin .. Shilla mendesah, menepikan dirinya ke trotoar agar mobil berisik itu bisa lewat.

Tiiin .. tiiin .. Shilla mendengus lalu menoleh ke samping, melihat Volvo hitam yang ternyata sumber suara brisik itu. Kepala Patton muncul dari jendela mobil “Shil ..”

Shilla membuang muka dan berjalan lagi. Patton turun dari mobilnya lalu mengejar Shilla. Ia meletakkan lkedua tangannya di pundak gadis itu dan membalikkan badannya.

“A.. aku cuma ..” Shilla mencoba merangkai kata. Patton berkata “ssshh .. sssh ..”

Shilla akhirnya membiarkan air matanya berbicara. Patton tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan tangis Shilla pecah dalam dekapannya.
*

“Kenapa kamu ngajak aku kesini lagi ?” Tanya Shilla.

Patton hanya diam, menatap Shilla sebentar, mengangkat bahu lalu mulai meneruskan pekerjaannya yang kurang penting, melepari laut dengan kerikil. Mereka sedang berada di Muara Baru lagi. Patton mengajak Shilla duduk kesini, setelah air mata Shilla dinilainya sudah cukup banyak untuk memberi minum orang sekampung.


“Pat ..”

Patton menghela nafas, memberikan sekaleng Green tea dingin pada Shilla “Minum itu ..”

Shilla mengambil kaleng itu dan mengernyitkan dahi “Pat .”

“Minum ..” kata Patton final.

Shilla membuka penutup kaleng dan menyesap Green tea di dalamnya. Sejuk rasanya, minum sehabis menangis.

“Green tea bagus buat lo .. ada antioksidannya .. mungkin otak lo lagi kebanyakan karbondioksida atau apa ..” racau Patton

Shilla tersenyum “Thanks, Pat ..”

Patton tersenyum akhirnya, mengusap kepala Shilla “Anytime .. mau sharing sama gue ? gue ga keberatan ada adegan air mata ronde kedua ..”

Shilla tersenyum lagi “Engga lah .. aku ga mau nangis lagi .. cape .. Cuma aku ga nyangka aja, Rio kayak gitu ..”

“Don’t judge a book by it’s cover .. Don’t until you know it’s content ..” kata Patton “Kita ga tahu apa yang dilakuin Rio sebenernya tadi ..”

Shilla mengerutkan kening ke arah Patton “Kamu ngebela Rio ?” yang dijawab Patton dengan mengangkat bahu.

Shilla tertawa kecil “ Padahal dulu kamu bilang mau ngutuk dia ..” Shilla membuang pandangannya ke arah laut “Ombak itu akhirnya memukul karang lagi kan ? Meninggalkan lubang erosi lain disana ..”

“Shil ..”

Shilla meluncurkan pandangan memohon “Please, jangan ngebela Rio ..”

Patton mengacuhkan ucapan Shilla “Mungkin ombak itu kelihatan jahat ya sama karang ? Membuat karang berlubang, rapuh .. Tapi, apa yang baru gue pelajari .. “ Patton menuding seekor ketam, kepiting kecil yang sedang berjalan miring memasuki lubang di salah satu batu karang di dekat mereka.

“Ombak membuat tempat tinggal buat kepiting-kepiting kecil ini berlindung. Ombak membuat karang bermanfaat. Ga cuma diam manis ga berguna kayak sekedar batu. Mereka saling membutuhkan, tahu ? Karang membuat ombak tidak melewati batas saat ombak berlari ke tepi pantai ..”

“Pikirin itu, Shil ..” Patton bangkit dari duduknya “Gue pergi bentar, kalo lo udah mikir baik-baik dan siap pulang, telepon gue ..” Patton menyerahkan ponsel Shilla pada pemilik aslinya.

Shilla mengambil ponselnya, memandang Patton yang kini berjalan menuju mobilnya. “Oh ya ..” kata Patton “kadang disini ada pengamen .. siapin uang receh, hati-hati ..” Patton memberikan senyum terakhir pada Shilla.

Shilla membalas senyum sekenanya. Lalu kembali menatap ke arah laut. Kenapa harus selalu laut yang menjadi saksi bisu kegalauannya ?

Muara Baru begitu sepi. Membantu Shilla mendengar sesuatu lebih jelas. Suara hatinya. Shilla mulai menyelami hatinya. Siapa yang saat ini memenuhi pikirannya ? Rio. Siapa yang saat ini menempati hatinya ? Rio. Ternyata, sesakit apapun hatinya hari ini. Sosok itu masih bertahan disana, dan Shilla sesungguhnya tetap ingin memiliki Rio disini.

Pikirannya terpecah suara gonjreng gitar dan suara serak-serak basah dari belakangnya. Shilla tidak perlu menoleh untuk tahu itu pengamen.

Cantik … ingin rasa hati berbisik ..
Untuk melepas keresahan diriku ..
Ooh Cantik, bukan kuingin mengganggumu ..
Tapi apa arti merindu selalu ..

Walau mentari terbit di utara ..
Hatiku hanya untukmu ..

Lagu Cantik dari Kahitna yang dibawakan secara ballad-akustik. Shilla menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Oke, suara pengamen itu tidak jelek. Bagus, malah. Tapi apa harus sekarang ? saat ia sedang sibuk memastikan isi hatinya. Shilla merogoh kantongnya, mencoba mencari uang receh.

Ada hati yang termanis dan untuk cinta ..
Tentu saja kan kubalas seisi jiwa ..
Tiada lagi, tiada lagi yang ganggu kita ..

Shilla sedang merogoh ranselnya saat mendengar penutup reff ini.

Ini kesungguhan, sungguh aku sayang Shilla.

Shilla menoleh ke belakang, melihat siapa yang bernyanyi. Sesosok tubuh tinggi yang masih dibalut seragam SEASON HIGH. Rio ? Shilla membuang muka ke depan. Ternganga.

Ingin ku berjalan susuri cinta ..
Cinta yang abadi untukmu selamanya … oooh ..
Ada hati yang termanis dan utnuk cinta ..
Tentu saja kan kubalas seisi jiwa ..
Tiada lagi, tiada lagi yang ganggu kita ..
Ini kesungguhan, sungguh aku sayang Shilla

Gonjrengan gitar itu berhenti.

“Ngapain kamu disini ?” Shilla menoleh ke belakang lagi.

Rio tersenyum miring, menggonjreng gitarnya “Ngamen ..”

Shilla memutar bola matanya, lalu bangkit dan berjalan mendekati Rio, yang sedang menyusun kata-kata.

“Shil, gue .. gue tahu tadi mungkin gue bikin lo sakit hati .. tapi, gue sayang sama elo .. sumpah gue sayang nya sama elo .. Ah, gue ga bisa ngerangkai kata-kata bagus nih ..”

Shilla mendengus “Darimana kamu tahu aku disini ? Oh .. Patton ya ? Sejak kapan kalian berkomplot ?”

“Shil” Rio meletakkan matanya di mata Shilla “Sorry soal yang tadi .. tapi kalo lo emang udah ilfeel sama gue ..”

Shilla membalas pandangan Rio tanpa reaksi apa-apa “Ilfeel ? emang sejak kapan aku ada feeling buat kamu ?”

“Lo tahu .. gue ga akan pernah maksa lo ngejawab ..” Rio mengangkat bahu, membalikkan badannya dan berjalan menjauhi Shilla.

Mungkin si kucrut Patton itu mengerjainya. Rio menghela nafas. Yah, kalau memang takdirnya bukan bersama Shilla, dia mau berbuat apa. Yang jelas, Rio tidak akan mudah melupakan Shila. Mungkin dia bisa mencoba mengurung diri di ruang bawah tanah dan membiarkan tikus-tikus menggerogoti ….

Shilla berlari kecil menyusul Rio,lalu menyusupkan jemarinya ke jemari Rio yang tidak memegang gitar. Ia menyentak tubuh Rio hingga mereka berdua berpandangan.

Shilla meletakkan matanya pada mata Rio “Kamu beneran ga mau tahu jawabanku ?” tanya Shilla sambil tersenyum.

Rio tersenyum “Sumpah, Shil .. yang tadi gue sama Keke ..”

“Sssssh ..” Shilla tersenyum lagi, menguatkan genggamannya “Aku tahu dan aku percaya sama kamu ..”

Rio melepaskan jemarinya lalu memeluk Shilla erat-erat, tidak berniat melepaskannya. Ia memberikan jempol utnuk Patton yang sedang memperhatikan dari mobilnya di ujung sana. Rio memejamkan mata, menikmati saat itu dan mengecup puncak kepala Shilla, yang kini resmi menjadi gadisnya.

Patton tersenyum melihat pemandangan di depannya, tak berapa lama ia menunduk dan menghela nafas. Lamat-lamat mendengar lagu dari radionya.

Ku bertanya adakah aku yg ada di hatimu
Tak mengapa jikalau aku tak pasti di benakmu

Aku tak tahu mengapa dirimu
Yang datang saat aku merasa
Meskipun aku tak mungkin miliki
Namun ku akui, kau ubah hariku

Ada getar saat ku menatapmu ada di sana
Ku yakini mata hatiku tak akan pernah salah

Aku tak tahu mengapa dirimu
Yang datang saat aku merasa
Meskipun aku tak mungkin miliki
Namun ku akui, kau ubah hariku
Aku bertanya dan tanya kepada diri
Salahkah hatiku yg mengharapkan cintamu

Drrt .. Drrt .. Ponsel Patton berdering ..

1 message received

Terima kasih untuk segalanya .. :’)
Sender : Shilla

Patton melajukan mobilnya ke dalam keheningan petang. Sayup-sayup mendengar lagu itu memudar.

Meskipun aku tak mungkin miliki
Namun ku akui, kau ubah hariku

Dan meninggalkan serpihan hatinya menjadi kenangan.
*

Rio menatap Shilla yang tertidur di jok sebelahnya, mengusap pipinya lalu memperhatikan kalender di depannya. Sebentar lagi … Mungkin ia harus secepatnya berguru pada Chef Dave ..


Jakarta, 24-09-10, 22.12

Thanks for reading :) please leave me a comment about this story in this site or on my twitter : @janicenathania or on my facebook : Janice Nathania Lienardi .. thanks a lot ;)

Next Part >>

[130709] The upcoming parts (16-35) are taken down until tentative time. Cheers !

Wednesday, September 22, 2010

Finally .. It's Done ..

hullo, people .. how do you do ?
udah pada masuk sekolah ? masuk kerja ?
gue lagi libur doooong hahahaha *ketawa setan

hahahaha impas deh itung itung gue libur lebaran cuma 2 hari --
hehehehhe .. kenapa coba gue liburnya sekarang ?
because my job training is oveeeeeeer, yippie hehehehe

dan surprisingly, i damn missed the routinity of my job training ..
hari pertama gue libur, gue bangun tidur terus sempet bengong dan mikir "gila, hari ini gue ga usah berangkat ke tempat PKL lagi .." dan itu awkward banget rasanya ..

ok, gue ngaku apa yang gue pikirin waktu gue masih kelas 2 SMK pas denger kata PKL adalah "what the fudge is Job Training ?!"
mungkin itu juga yang dirasain semua orang yang pernah duduk di bangku SMK .. ngebayangin betapa ribet pekerjaan nanti, betapa waktu bakal berjalan lamaa banget, betapa kejam senior yang bakal ditemuin ..

itu juga yang gue rasain .. hari pertama gue masuk PKL, 21 juni, adalah one of the most scary day in my whole life .. gila gue serem abis ngeliat orang orang ber baju kerja yang tampak judes semua .. well, i passed it dan lucky me, gue dapet senior yang baik-baik .. ffiiiuh ..

dan very lucky me, gue ditugasin buat ngebantu senior yang baiiiiiik banget sama gue, and recently, we're ending up as a best friend now (i waf you, Ci Erni)

memasuki bulan pertama PKL, gue masih mikir "gileee masih dua bulan lagi .. can you make times ride faster, God ?"
gue sempet denger petuah dari guru gue "percaya deh, kamu belum nemuin irama kerja mereka .. jadi kamu mikir kok waktu berjalan lama banget .. when you get the rhythm, you will have fun with it .." (kata kata ini gue modif dikit haha)
dan, itu terbukti, ketika gue sudah melewati bulan kedua PKL gue .. dari jam setengah 9 ke jam 5 sore tuh .. woooooosh cepet bangeeeet dan gue udah ga sering sering ngeliatin jam lagi hahaha ..

then, beberapa minggu sebelum PKL gue berakhir, gue dan partner PKL gue, stepani chandra, udah mikir mau ngasih apa pas farewell nanti .. akhirnya pilihan kita jatuh pada blackberry .. ya, kita ngasih blackberry satu-satu ke senior .. tapi boooooong hahahaha *jayus jaya

gue dan partner gue akhirmya milih kue bolu 2 jenis yaitu marmer cake sama cake tape hehehehe ..

God answering my pray .. times ride too fast .. gue menatap kalender dan bilang "ini udah tanggal 19 dan besok PKL gue bakal berakhir .."
then, dari beberapa minggu sebelumnya senior gue yang baik banget itu (Ci Erni) cerita sama gue bahwa dia mau resign, dua hari tepat sebelum gue selesai PKL ..
it's sad .. the first sadness ..

terus, beberapa hari sebelum tanggal 20, senior senior gue udah pada ngomong kalo tanggal 20 semua personil Hotel & Package Division mau diajak makan makan sama manager (note : dibayarin haha) .. which is momennya pas banget sama farewell gue dan Ci Erni (yang juga diundang) .. dan hasil rapatnya adalah, tanggal 20, pulang kerja kita semua dari manager sampe anak training bakal makan makan di Hanamasa Mangga Dua Square (yehahahaha and it's freakin' free, peole)

well, the 20th of September was coming .. gue dateng pagi pagi banget ke tempat PKL, merasa sangat mellow .. kira-kira sore gitu .. gue dan partner menghadap manager dan supervisor buat ngingetin bahwa kita PKL terakhir hari itu .. sehabis itu, kita berdua muter muter bagi kue bolu yang udah kita rencanain itu ..

yang terjadi selanjutnya adalah hal yang gue sangka .. beberapa hari sebelumnya stepani the partner nge-tweet gue dan nanya "kira-kira kita bakal nangis ga ya ?" dan gue jawab dengan sotoy-nya "mungkin, tapi ga di depan mereka kali ya.."

waktu gue kasih kue ke dua senior gue , Ci Yoshe dan Ci Jeje .. gue dan partner bilang "ci, makasih ya udah ngebantuin selama ini .." terus Ci Jeje nyaut "makasih juga ya .."
oh, Gawd .. then, my tears fell .. dunno why, i just felt then im not going to meet them again .. their truly good friends, indeed .. all of my seniors are ..
dan betapa baiknya Ci Jeje ber 'terima kasih' sama gue yang cuma anak training ini .. you know ? i just felt lucky to have been a part in that division .. no border between staffs and trainee people .. it just wonderful ..

then, gue dan partner nangis sambil ketawa, soalnya malu belom apa apa udah nangis hehehe .. setelah itu, gue ngedarin kue dan ga nangis lagi heheehhe ..

terus hari itu kita semua pulang tenggo, naik mobil kantor ke Hanamasa .. dan makan, makan, makan, makan kayak orang ga makan 3 hari .. Ci Erni dateng dari kantornya yang baru and brought me a gift and a letter (have i told you that i gave her farewell gift & letter too, previously ?) .. ternyata hadiahnya jam tangan uuuuuh baiknyaaaa ..

lanjut, sebenernya makan makan di hari itu untuk merayakan banyak momen : Farewell buat gue, partner dan Ci Erni, ulang tahun Ci Sherly & Bu Vera, kesuksesan senior-senior yang bawa tour, dan lolosnya Ka Ricky dari short collect .. the night gone mad .. manager gue minta ke pegawai Hanamasa untuk masangin lagu happy Birthday buat Ci Sher dan kita tereak tereak nyanyi buat dia disana hahaahha ..

terus Ci Sher disuruh nyuapinin puding ke semua team yang ikut dengan satu sendok yang sama .. acara ini sempet heboh karena Ci Sher nyuapinin -ehm- mantannya yang nama nya tersebut di atas (ayo yang mana ?) .. pokoknya ketawa ketiwi deh malem itu ..

setelah makan makan selesai, manager manggil kita semua untuk kumpul dan dia speech bentar : ngucapin sukses buat Ci Erni di kantornya yang baru, ngucapin selamat buat yang udah sukses bawa tour, ngucapin selamat ulang tahun, ngucapin selamat buat yang udah lulus probation, dan ngucapin terima kasih buat anak training ..

gue mulai merasa sedih .. tapi ga mau nangis sih .. terus ada dua senior gue, Ci Yosh dan Ci Kesh yang bilang "udah jangan nangis, de .." nah, saat itulah partner gue matanya mulai memerah ..

gue awalnya ga mau nangis .. dan entah siapa yang mulai, terjadi acara salaman dan peluk-pelukan yang dramatis .. Ci Yoshe meluk gue dan bilang "dek, suksesya ujiannya .." dang. saat itu juga gue nangis dan tiba tiba berasa sedih mau pisah sama senior senior gue yang seru ini ..

abis itu cipika-cipiki sama senior lain dan gue nangis lagi .. astaga .. (kebesokannya gua ga percaya gue nangis depan senior) .. udah gitu, lagi nangis kepala malah ditepok tepok sama senior .. tambah sedih deh ..

yang lucu adalah, Bu Vera, yang ga mau pisah kemana mana malah nangis lumayan kejer, sampe gue dan partner ketawa terbahak-bahak padahal mata masih bengkak ..

it's been a wonderful farewell semua orang ngucapin "makasih .." , "sukses ya ujiannya .." , "sukses ya proposalnya ..", "belajar yang rajin .."

dan gue sadar .. Job training is one of the best experience that i've ever had ..

entah, kalo kata cici kandung gue, tergantung juga tempat PKL yang lo dapet enak atau engga juga..

partner gue bilang "we are the chosen people .." and she's damn right !

thank you, SMK Paramitha 2 to settled me in Hotel & Package Division Panen Tour Pusat .. it's been a very incredible and beatiful three months (dapet pengalaman, teman, kesenangan dan makanan ! who can resist ?)

PKL : tidak seburuk yang dibayangkan dan seindah yang tidak pernah dibayangkan :)

Saturday, September 11, 2010

Love Command (Part 14)

Luka, luka, luka … Diulangnya ribuan kali hingga kata itu tak lagi bermakna .. Dan ketika rasa itu mulai bernama … Mana yang harus dipilihnya ? Mengungkapkannya ? atau sanggupkah
ia melepasnya ?

*


Sebuah Volvo hitam merangkak pelan, seiring alur kemacetan petang kota Jakarta yang
menggila. Patton menghela nafas panjang, lalu menyentuh pedal rem di kakinya.
Menyesali kebodohannya memilih jalan besar sebagai rute pulang. Padahal ia tahu
beberapa jalan tikus yang bias ditempuhnya dari tempat gadis yang baru ia antar
pulang itu, tinggal.

Ya, Shilla. Patton hampir terkejut menyadari dampak nama itu pada kecepatan detak jantungnya belakangan ini. Menyadari dampak suasana hati yang terbawa kemana-mana hingga Mamanya
bertanya ada apa dengan dirinya. Mencemaskan anaknya memakai nikotin atau
barang apa hingga terus tersenyum seperti orang gila.

Patton hampir tertawa sendiri lagi, lalu tiba tiba menyadari bagaimana orang luar melihat dirinya. Mungkin dia memang aneh. Patton menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu menatap
jok di sebelahnya. Jok yang sudah di dudukioleh gadis yang menghantui sudut
pikirannya selama hampir tiga minggu terakhir.

Hampir tiga minggu setelah pesta Ify berakhir. Hampir tiga minggu sejak pertemuan pertama itu. Hampir tiga minggu Patton bersedia mengantar jemput Shilla (mengabaikan ejekan
Ify dan Deva seputar ‘sopir pribadi’). Hampir tiga minggu ada yang selalu
tertawa di sampingnya.

Tapi .. Patton mulai berpikir .. serenyah apapun tawa itu, Ia takkan pernah melupakan saat saat hening yang sebenarnya jarang terjadi, namun selalu sangat mencemaskan jika
berlangsung. Saat Shilla menatap keluar jendela, entah memandang apa. Tatapan
yang selalu mengingatkannya pada air mata Shilla, yang jatuh pada hari yang
bersamaan dengan pertemuan pertama mereka. Patton tidak perlu penjelasan
mendetil untuk tahu siapa yang sedang direnungi Shilla.

Sesubgguhnya pula, Hampir tiga minggu sudah, Patton menyayangi gadis itu.

Patton memejamkan mata sejenak. Ingatannya melayang pada pejelasa-mendetil-yang-tidak-perlu-karena-Patton-sudah-tahu yang dikisahkan Shilla suatu saat. Penjelasan gadis itu tentang siapa yang
mengusik perasaannya, membuat hatinya berteka-teki tak pasti, teka-teki yang
tak mampu di urainya sendiri. Rio.

Entah gadis itu terlalu naïf atau sedang berusaha membohongi dirinya sendiri. Karena seharusnya orang paling bodoh pun tahu apa yang sedang dirasa Shilla sebenarnya.

Patton tidak menanggapi saat Shilla bercerita tentangnya. Ia tidak mau menjawab dan tidak berharap dimintai jawaban. Setengah dirinya seperti berteriak agar gadis bodoh
yang disayanginya itu menyelesaikan teka-tekinya sendiri. Namun setengah
dirinya yang lain juga berbisik, berharap dalam gelap, agar gadis itu tak perlu
mengurai sang teka-teki dan perlahan melupakan perasaan itu karena kehadiran
Patton di harinya. Karena Patton tahu, sadar atau tidak, hanya Rio yang ada di mata gadis itu.

Patton menghela nafas, terusik kebisuan yang terlalu mencekam, ia memutuskan menyalakan radio di dashboard mobilnya. Hela nafasnya merileks, mendengarkan penyiar favoritnya
sedang bercuap cuap mengenai gossip salah satu penyanyi muda Amerika yang
sedang naik daun, Taylor Swift.

“eniwei .. daripada gua ngomongin gossip mulu ya, Bo .. mending gua puterin salah satu lagu favorit gua dari si eneng ini .. Check it out .. Invisible from Taylor Swift .. stay
tune on one-o-one point forty five, Truk FM ..”

Suara bawel si penyiar mulai mengecil seiring intro lagu yang berkumandang. Patton mengetukkan jarinya ke setir. Ia belum pernah mendengar lagu penyanyi blondie itu yang ini.

Pattton berusaha membunuh kebosanan menunggu kemacetan dengan mencoba menyerapi isi lagunya dan ia tercekat saat mendapati bagian akhir refrain yang jika dirubah gender
subjeknya akan sesuai dengna keadaannya kini.

“ … he never gonna love you like I want to …

You just see right through me ..

But if you only knew me ..

We could be a beautiful miracle unbelievable

Instead of just Invisible ..”

Invisible.

Patton mendecakkan lidahnya. Begitukah dirinya sebenarnya selama ini ? invisible ? tidak terlihat ? tidak terlihat bahkan saat ia hanya berada sejauh nafas dengan gadis itu ?
tidak terlihat bukan dalam arti fisik ..

Lalu dia apa ? semacam bayangan yang bisa berbicara ?

Pikiran getir Patton dipecahkan unyi menjerit-jerit di sebelahnya. Patton meraih ponselnya lalu menekan tombol ‘yes’.

“yoa .. kenapa ki ? … iya lagi dijalan … iye, napa ?” Patton sempat heran kenapa ketua OSIS sekolahnya menghubunginya tiba-tiba.

“Oooh .. mau survey ? gue ikut ? hmm …. Kemana ? Cimacan ? … buset … terus kumpul jam berapa ? lima ? pagi ? .. oh yodah .. yok, bye ..”

Patton memutuskan pembicaraan, lalu meletakkan kembali ponselnya. Ia menghela nafas. Baru saja, Kiki mengajaknya (sekaligus meminjam mobilnya) menyurvey lokasi perkemahan
sehari untuk kegiatan sekolah mereka di daerah Jawa Barat, besok pagi.

Berarti .. pikir Patton, sambil melajukan mobilnya perlahan .. besok ia mungkin tidak bisa menjemput Shilla.

Patton mendesah. Mungkin ada baiknya ia abstain sehari saja dari hadapan Shilla. Mungkin tak ada salahnya berharap dengan ketidakhadiran dirinya, Shilla bisa melihatnya secara
jelas.

Karena mungkin .. simpul Patton .. tak selamanya kehadiran fisik, membuat orang lain menyadari kita ada.

*


Gadis itu berada di dalam cermin, bukan di balik kaca. Hingga Rio tak bisa meraih gadis itu di baliknya. Gadis itu berada di dunia bayangan. Sehingga Rio hanya bisa
memandanginya dari kejauhan. Dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Meskipun tahu, dengan meneruskan topeng dinginnya akan membuat Shilla menjadi sosok bayangan yang makin kabur. Rio tetap pada pendiriannya itu. Entah
kenapa, mungkin otaknya sedang berada di frekuensi yang salah. Ia memutuskan
mempertahankan sekaligus tetap mengenakan wajah tiruannya. Apa yang bisa lebih
kacau dari itu ?

Karena keputusannya, ia terpaksa menelan bulat-bulat kekecewaannya akan kenyataan bahwa ada seseorang yang sedang berusaha menggapai gadis bayangannya dan hampir
mendapatkannya. Dan, ia pun tahu orang yang sama itu juga berada dalam dunia
yang sama, dunia dalam cermin, berada satu frame dengan gadis bayangannya.
Sementara ia berlakon sendiri, memelototi dari dunia nyata. Dan tidak bisa
berbuat apa-apa.

Rio berusaha bersikap tak acuh walau sebenarnya ia ingin sekali melindas Volvo hitam sialan itu sekaligus pemiliknya dengan tank baja. Terkadang memandangi secara nyata pun
cukup sulit. Ia harus mengintip diam-diam, mengintip dari sela tirai jendela,
mengintip dengar dari pembicaraan orang lain tentang sosok bayangan itu. Ia
juga berusaha keras mengabaikan kenyataan bahwa Shilla selalu menatap nanar
kearah Volvo hitam yang melaju menjauh setelah mengantarkannya, membuat Rio ketar ketir setengah mati sesudahnya.

Menyedihkan, tapi adalah konsekuensi dari apa yang diputuskannya. Seperti tema film klise remaja Amerika yang bertahun tahun menggentayangi Hollywood,
seperti bab pertama buku MMJ karangan Raditya Dika, Rio
menjadi seperti sosok yang jatuh cinta diam-diam, dan – lagi-lagi – tidak bisa
berbuat apa-apa.

Tapi mungkin ada yang berbeda dengan pagi hari itu. Rio turun dari kamarnya, agak bergegas karena Tag Heuer di tangannya sudah menunjukkan pukul
06.20. kemacetan pagi Jakarta
akan sama ‘ramahnya’ seperti saat petang.

Rio menghampiri ruang makan sebentar. Mengetahui Bi Okky pasti menyiapkan roti dengan selai srikaya dan segelas susu putih untuknya, selalu setiap pagi diatas meja makan. Rio
tidak duduk ia menyambar rotinya dan mengunyah cepat, sambil tak sengaja
mendengar beberapa pelayan yang Nampak berkasak-kusuk sambil mengelapi lukisan
di ruang makan, membuat Rio memutar bola
matanya.

“ .. iya tuh, tumbenan dia ga dijemput sama yang naik mobil itu .. terus tadi dia bangun telat pula .. katanya jam wekernya rusak .. ih alesan ..” bisik seorang pelayan
dengan agak sinis pada temannya.

Karena Rio sepertinya tahu siapa yang mereka bicarakan, Rio berusaha mengunyah secara wajar sambil mencuri dengar.

“ .. mungkin emang beneran rusak jamnya ..”

“aaah .. dia itu mah kebanyakan dimanjain sama den Gabriel ..” sahut pelayan yang tadi.

Tiba-tiba Rio merasa perlu membersihkan tenggorokannya. Ia berdeham, membuat kedua pelayan itu terlonjak kaget.

“pa .. pagi, Tuan ..” kata kedua pelayan itu.

Rio melotot, lalu berkata tajam “pagi-pagi ngegosipin orang ..” Rio pun berlalu dari ruang makan sambil berfikir. Jadi .. si potong, patong atau
siapalah itu namanya tidak menjemput Shilla hari ini .. hmm .. dia ingin tahu
kenapa ..

Rio sibuk berfikir sehingga tidak menyadari saat meraih pegangan pintu utama, ada tangan lain yang juga sedang menggapainya.

Rio dan Shilla saling memandang bersamaan. Shilla sempat melotot kaget saat mendapati tangan siapa yang ditumpunya. Ia lalu melepas tangannya dan memelototi lantai, sebagai ganti
Rio.

Rio tanpa sengaja, melengos terlalu keras dan membuang muka. Bukan karena ia sedang memainkan topengnya. Hanya saja, ia belum siap terlibat kontak lagi dengan gadis ini.
Selama beberapa menit, terjadi kebisuan. Mereka berdua mematung di tempat.
Tidak tahu mau berbuat apa.

Rio merasakan mulutnya gatal, lalu tiba tiba berbicara “lo telat.” Katanya. Shilla menoleh lagi ke arah Rio, melongo lalu memelototi lantai lagi sambil mengangguk mendengar pernyataan
Rio.

“kenapa bisa ?” Tanya Rio ingin tahu. Melupakan sebentar topengnya, karena geli melihat Shilla sepertinya begitu terkejut mendengarnya bicara tanpa ditanya terlebih dulu.

“mmm ..” gumam Shilla pelan “weker saya mati ..”

“Oohh .. bukan karena nungguin cowok lo yang ga dateng dateng ?” sindir Rio, tidak bisa menutupi kesinisan dalam pertanyaannya.

Shilla melengos pelan. Rio bisa mendengar Shilla berkata sesuatu seperti ‘macan’ dan ‘survey’. Rio
mengangkat bahu sok tak acuh, padahal ia ingin tahu apa maksudnya macan-macan
itu. Ya, dia tidak boleh terlalu berharap bahwa maksud Shilla adalah si
Potong-bebek-angsa- itu ditelan macan. Itu akan terlalu indah untuk jadi
kenyataan.

“mau ikut gue ?” Tanya Rio se (sok) ketus mungkin.

Shilla terkejut lagi memandang Rio. Ah, Rio suka sekali melihat kedua mata bening Shilla membelalak lebar seperti itu.

“gue ga ada maksud apa-apa, gue cuma ga mau Gabriel nyesel udah nyekolahin elo kalo lo telat ..” kata Rio, sebenarnya agak terganggu
membawa-bawa nama kakaknya dalm urusan ini.

Shilla mendesah lagi “bukan karena itu .. saya ga mau Keke berpikir macam macam ..”

Sial. Kenapa pula dia jadi bawa bawa ratu mulut cabe itu .. senjata makan tuan ..

“ga usah bawel .. gue tunggu lo di depan ..” kata Rio, mendahului Shilla menuju halaman depan tempat sedan andalannya terparkir

*


Shilla membelalakkan mata sepanjang perjalanan, terkadang melirik cepat ke arah Rio di sebelahnya. Ia benar benar tidak mempercayai apa yang terjadi. Bagaimana
mungkin dia bisa berada semobil dengan Rio
begini ? dan bagaimana mungkin hatinya mulai bertalu-talu lagi, menimbulkan
kembali teka-teki itu ke permukaan ?.

Shilla menyadari benar perbedaan berada semobil dengan Patton dan Rio. Berada semobil dengan Patton berarti ceria, tertawa karena lelucon-lelucon
anehnya yang tak ada habisnya. Berada semobil dengan Rio
berarti ketegangan, Shilla bahkan segan mengeluarkan suara sekecil apapun. Yang
jelas, kalau berada semobil dengan Patton jantungnya tidak akan berdetak
melebihi batas kewajaran begini.

Shilla berusaha menetralisir otaknya dengan cara memuntir muntir kunciran biru kesayangannya yang dibawanya dari desa Apit. Kunciran yang sudah menemui ajalnya tadi pagi.
Selain wekernya rusak, Shilla menyadari bahwa ini bukan hari terbaiknya, karena
kunciran kesayangannya itu ditemukan tergeletak tak bernyawa alias putus dengan
sentosa. Ia terpaksa menggunakan karet dapur berwarna coklat agar rambutnya
tidak terurai kemana-mana.

Mereka terjebak lampu merah. Shilla menarik nafas pelan. Memusatkan pikirannya pada kunciran birunya, daripada memikirkan pemuda di seblahnya. Mungkin juga dengan berkonsentrasi
kuncirannya bisa kembali tersambung. Abrakadabra.

“itu apa ?” Tanya Rio heran, melihat benda berbulu di tangan Shilla.

Lagi-lagi Shilla melongo mentap Rio, lalu memalingkan mukanya. Gila hari apa sih ini ? hari yang aneh. Selain kesialannya itu .. coba
bayangkan, Rio berbicara padanya berkali-kali,
dengan intonasi pula.

“kunciran saya ..” cicit Shilla akhirnya, masih menatapi kuncirannya.

“kenapa lo pegangin ?” Rio menggerakkan matanya, melihat ke arah rambut Shilla yang terkuncir rapi “karet dapur ?” tanyanya tak percaya.

Shilla cuma diam. Ga guna deh Rio bicara, tapi malah mencelanya. Shilla akhirnya mengangkat bahu “kunciran saya putus ..”

Rio mengangkat alis mendengar jawaban Shilla. Jam weker mati, hampir terlambat sekolah, kunciran putus. Sial sekali gadis di sampingnya itu. Hei, tapi … bukankah ia bisaa .. Rio berfikir sejenak. Saatnya ia pergi ke pusat
perbelanjaan hari ini.

*


1 Message Received


Shil, ntr plg gue jmpt lo ya :) meet you soon ..

Sender : Patton 14:45


Shilla membuka laci di meja sekolahnya, melirik sebentar ke arah Pak Joe yang sedang menjelaskan materi berapi-api di papan tulis. Ia mendengar bunyi bergetar teredam dan
mendapati sms dari Patton ini. Shilla tersenyum sendiri, menyadari bahwa ia
sedikit merindukan Patton dan aura hangat yang dibawanya. Saat itu juga, Shilla
mendengar bunyi deham dari belakangnya.

Shilla mendelik ke belakangnya, lalu baru mengingat denah kelas yang dirubah tadi pagi, Rio sekarang duduk tepat di belakangnya, jadi jelas Rio
lah yang berdeham tadi. Ia bergegas menatap ke depan lagi, karena Rio cuma menatapnya tanpa ekspresi seakan akan dia gila.
Shilla berusaha melupakan detak jantungnya yang memburu itu dengan cara membuka
sms terakhir dari Patton, lelucon hariannya, membuat Shilla tersenyum sendiri
lagi.

Shilla terus melihat ke arah jam dinding, berharap pelajaran Pak Joe segera berakhir. Lima menit .. sepuluh menit .. lima
belas menit .. akhirnya bel pun berdering. Tak lama setelah Pak Joe beranjak,
Shilla mencium kelebatan wangi yang familier di hidungnya. Ternyata Rio baru
sasja melesat ke luar pintu. Shilla mendesah, menyadari ternyata organ tubuhnya
masih bereaksi pada wangi itu.

“Shil, gue pulang duluan ya ?” Tanya Ify.

Shilla mengangkat wajahnya “loh, tumben fy ? biasanya mau ketemu Patton dulu ?”

Ify tersenyum kecil “nanti juga ketemu dia,” ify menghela nafas “bokap gue lagi sakit, Shil ..”

“ah ..” Shilla berkata pelan “semoga papa kamu cepet sembuh ya, fy .. aku titip salam ..”

Ify mengangguk pelan, lalu tersenyum “gue duluan ya, Shil, Dev ..” katanya, menepuk bahu Shilla sebentar lalu beranjak ke luar pintu dengan langkah gontai.

“gue juga duluan ya, Shil .. nyokap mau belanja bulanan .. biasaaaa .. terus sorean gitu paling gue mau jenguk bokap Ify .. mau ikut ?”

Shilla memikirkan tumpukan pekerjaannya di kediaman Haling “kayaknya ga bisa, Dev .. aku titip salam aja deh ..”

Deva tersenyum “oke .. gue titip salam buat sopir lo juga deh ..” kata Deva lalu tertawa.

Shilla menjulurkan lidah, kesal karena ledekan harian Ify dan Deva yang itu-itu saja.

“Daaaa ..” kata Deva, menepuk kepala Shilla lalu menuju ke luar pintu.

Tanpa disadari, Shilla kini sendiri di dalam kelasnya. Ia menghela nafas sebentar lalu perlahan memutar tubuhnya ke belakang. Menatap bangku dan meja Rio,
memikirkan penghuninya.

Shilla bertopang dagu, menumpukan sikunya di meja Rio.

“kenapa kamu ..” ucap Shilla pelan “ yang ada disini terus ?” ia mengetukkan jari ke kepalanya. Shilla melanjutkan pertanyaan retorik itu dalam hatinya. Kenpa bukan Patton
saja yang ada di otaknya ? Patton yang begitu baik ? sekalipun Patton tak
mungkin punya rasa untuknya .. tapi seharusnya Patton yang lebih mungkin berada
di batok kepalanya.

Shilla menghela nafas, lalu mengambil ponselnya yang ia sadari bergetar di sakunya.


1 Message Received


Touch down @ ur school .. ayo turun, neng !

Sender : Patton 15:07


Shilla tersenyum pelan, lalu bergegas turun melalui elevator. Ia tersenyum lagi saat mendapati sebuah Volvo hitam terparkir di depan gedungnya. Shilla melangkah ringan dan
mengetuk kaca jendela penumpang.

Patton membuka kaca jendela penumpang. Tersenyum mendapati Shilla yang tersenyum juga.

“Langit bertanya .. dimana Matahari hari ini ? mengapa awan yang seharian menggelayutiku dan membuat semuanya kelabu ?” kata Shilla bersajak.

Patton menanggapi “Matahari sudah kembali dari persembunyiannya .. untuk menghibur sang Putri Langit yang ikut bermuram katanya ..”

Shilla tertawa, lalumembuka pintu mobil Patton dan masuk ke dalamnya. Patton menoleh kea rah Shilla “oke, sejak kapan gue jadi Matahari ?”

Shilla tertawa geli “sejak kapan aku jadi Putri Langit ?”

Patton menjawab tanpa sadar “mungkin sejak kita ketemu ..”

“hmm ?” Shilla tampaknya tidak mendengar ucapan menyerempet yang dikatakan Patton, karena ia sedang memelototi strip obat berwarna perak-hijau yang tergeletak di dashboard
mobil Patton.

“kamu punya penyakit maag ?” Tanya Shilla, mengambil strip itu lalu menoleh ke arah Patton. Patton hanya tersenyum dan mengangkat bahu.

“kayaknya gitu .. gue kan kalo makan agak ga teratur .. makan pagi juga jarang ..” sahutnya jujur sambil
men-starter mobilnya.

Shilla berpikir sejenak “jarang makan paginya baru baru ini atau ..?”

Patton tahu kecemasan yang melayang di otak gadis baik seperti Shilla begini “gue emang dari dulu jarang sarapan kok, karena memang ga sempet ..”

“Oooh ..” sahut Shilla akhirnya, tiba-tiba jadi memikirkan jarak dari daerah rumah Patton ke tempatnya tinggal. Memang searah sih, tapi .. jam berapa pemuda ini harus
bangun setiap hari ? berapa lama yang dibutuhkannya untuk bersiap siap hingga
tak sempat menyentuh sarapan ? hmm .. Patton selalu baik padanya, mungkin tak
ada salahnya, walaupun tak seberapa, kalau ia melakukan sesuatu untuk Patton.

*


Sandwich. Shilla memutuskan membuat sepotong sandwich untuk Patton. Mungkin sederhana dan tidak seberapa. Tapi, sejujurnya cuma ini menu sarapan yang bias dibuatnya dan tidak perlu
menimbulkan grasa-grusu berisik saat prosesnya.

Keesokannya, Shilla berniat membuat sarapan itu pag pagi sekali di pantry, dapur bersih yang terletak di senelah kamar Gabriel, di seberang kamar Rio,
di lantai atas. Sambil membawa bahan bahan yang sudah ia siapkan di sebuah
Tupperware besar, Shilla melangkah perlahan menaiki tangga, berusaha tidak
menimbulkan suara.

Entah kenapa, langkah Shilla sempat terhenti di depan sebuah pintu jati bertuliskan ‘Enter With Your Own Risk !’ yang terletak di seberang pantry yang di tujunya. Shilla menghela
nafas panjang, memandangi pintu yang dulu pernah membuat pipinya memerah itu.
Ia lalu memutuskan untuk melangkah gontai ke arah pantry dan mengeluarkan
bahan-bahan dari Tupperware yang dibawanya.

Shilla menyadari apa yang dia lakukan tadi membuat dirinya resah sendiri. Membayangkan Rio hanya sejauh itu dan … Shilla mendesah, ia mulai menggoreng daging asap yang
dibawanya si atas wajan. Bunyi berdesis dan letupan minyak membuat pikirannya
teralih. Dan ia cukup senang akan hal itu. Ia tidak mau memikirkan Rio, tapi masalahnya otaknya tak mau diajak berkomplot.
Shilla mengetuk-ngetukkan jarinya ke dahi. Berharap dengan berbuat begitu bisa
menghilangkan bayangan Rio di benaknya.

Sementara Shilla sudah hampir menyelesaikan bekalnya dengan cara ‘mencoret’ bagian atas sandwich dengan sambal, menulis huruf huruf yang pasti akan membuat Patton tertawa
ketika melihatnya, ternyata Rio sudah bangun
dari tidurnya.

Rio sedang menikmati kelancaran internet di pagi hari dengan mengunjungi beberapa situs musik favoritnya. Saat ia sedang mengunduh musik gratis yang tersedia di salah satu
website, layar PC nya bergetar, ternyata Gabriel mem-buzz Yahoo! Messenger-nya.


Gabriel 78 : BUZZ!!!

Rio_Haling: ?

Gabriel78 : Yo ?

Rio_Haling: hah ?

Gabriel78 : kok lo udah bangun ? disana masih jam brp ?

Rio_Haling: lah, lo sendiri blm ngorok ? disono jam brp ?

Gabriel78 : kok pertanyaan gue malah di balikin --‘

Rio_Haling: ngapain coba, kak ? kita nge-chat ga jelas gini ?

Gabriel78 : kangen juga gue ngejitak pala lo, yo ..


Gabriel78 is typing


Baru sekali ini sejak berbulan bulan Gabriel pergi, mereka bisa berkomunikasi lewat Chatting. Sebelumnya mana pernah jam melek Gabriel dan jam melek Rio
bertemu.


Gabriel78 : disono subuh ya ?

Rio_Haling: yoa

Gabriel78 : lo ga niat ngechat ama gue apa gimana sih ?

Rio_Haling: lagi ngantuk gue ..

Gabriel78 : ya tidur dong .. repot bener

Gabriel78 : mending lo bantuin Shilla beberes dapur sana ..


Deg. Ngapain juga si Gabriel bawa-bawa nama Shilla. Keki juga Rio menyadari , Gabriel ternyata masih mengingat Shilla. Hei, tapi ..


Rio_Haling: darimana lo tau Shilla lg beberes dapur ?

Gabriel78 : ya tau aja hahahaaha


Jangan-jangan … pikir Rio .. mereka masih rutin berkomunikasi


Gabriel78 : woi, kok diem ? gue ngasal lagi .. gue udah jarang komunikasi sama dia

kok

Rio_haling: oh .. terus gue peduli ya ?

Gabriel78 : hahaa

Rio_Haling: kenapa ketawa ?

Gabriel78 : hmm .. have you …

Rio_Haling: apaan sih ?

Gabriel78 : fallen for her ?

Rio_Haling: bukan urusan lo ..

Gabriel78 : hahaaa

Rio_Haling: tau deh ah .. gue off dulu

Gabriel78 : lari dari kenyataan ga akan nyelesaiin masalah, yo .. hadepin aja

perasaan lo ..


Rio_Haling has signed off


Rio mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, melirik monitornya ke arah kata-kata yang sempat diketik Gabriel. Ia menghela nafas, melihat ke arah jam di bagian kanan bawah layar
lalu memutuskan men-shut down PCnya. Matanya tertumbuk ke arah bungkusan biru
yang kini bertengger di seberang sana,
di meja sebelah tempat tidurnya.

Rio beranjak dari meja belajarnya dan menaiki undakan ke tempat tidurnya. Mengambil bungkusan biru yang berisi dua buah benda yang baru dibelinya kemarin. Benda yang satu tidak
sulit didapatkan, karena ada dimana mana, di warung, suoermarket semua ada.
Yang satunya lagi, sebenarnya pun tidak sulit didapat, tapi ada proses
memalukan yang harus dilaluinya. Dipandangi ibu-ibu kelewat gaul, gerombolan
cewek yang terus cekikikan dan pelayan toko berbando kuping kelinci bukan hal
yang menyenangkan, tahu.

Tak lama Rio terdiam, telinganya mendengar bunyi akrab dari luar. Suara itu suara yang biasa didengarnya saat Gabriel kelaparan dan memutuskan membuat makanan cepat saji. Di Pantry. Rio
mengerutkan kening, Gabriel jelas-jelas masih di Paris. Masa sih celetukan Gabriel
benar ? ada Shilla disana ?

Rio menuruni undakan, bergegas ke pintu dan mengintip dari celahnya. Pintu pantry tertutup dan ia memang mendengar bunyi sedikit berisik dari sana. Rio hampir merapatkan kembali pintu
kamarnya saat melihat pintu pantry terbuka, lalu Shilla keluar dari sana, setengah berlari
menuruni tangga, meninggalkan pintu pantry setengah terbuka.

Rio mengerutkan kening lagi. Kok Gabriel bisa bener begitu ? hei, Shilla meninggalkan pintu pantry setengah terbuka. Berarti mungkin, gadis itu akan kembali kesana. Rio memandangi bungkusan di tangannya dan tersenyum
lebar. Ia tahu cara memberikan benda benda ini pada Shilla tanpa terlihat.

Rio jadi tersenyum senyum lagi mengingat kejadian kemarin, sambil melangkah pelan menuju pantry. Ia merindukan ekspresi itu dan akhirnya melihatnya lagi, saat dikelas kemarin.
Shilla mendelik kesal yang terlihat sangat lucu di matanya. Lalu, setelah itu,
ia melihat Shilla tersenyum diam-diam memandangi lacinya. Jelas, Shilla tidak
tersenyum karena laci itu bermain sirkus di depan matanya kan ? salahkah ia berharap, Shilla tersenyum
diam-diam untuknya ? setelah melihatnya ?

Rio terus tersenyum sambil memasuki Pantry. Bau daging asap menyeruak dari sana. Rio mengangkat bahu tak acuh, memikirkan dimana ia meletakkan bungkusan itu agar
terlihat Shilla. Rio melongok ke arah piring
sandwich dengan olesan sambal acak acakan yang terletak di meja seberang pintu.
Mungkin disana saja, pikirnya.

Rio melangkah pelan menuju ke samping piring itu, lalu baru menyadari secara jelas nama yang terukir di atas sandwich, terbuat dari sambal, coretan nama antagonnya, P-A-T-T-O-N.

*


Sjilla bergegas menaiki tangga, ia baru saja dari dapur kotor di bawah untuk mengambil Tupperware lain yang lebih kecil untuk dijadikan kotak bekal. Saat naik itulah,
Shilla mendengar bunyi berderit pelan. Ia menoleh ke arah pintu jati itu. Kalau
kupingnya tidak salah, pasti pintu itulah yang baru saja ditutup, sehingga
menimbulkan bunyi berderit tadi. Sudah bangunkah Rio
? Shilla menghela nafas panjang. Berusaha mengusir keingintahuan itu.

Shilla melangkah cepat ke arah pantry. Menyadari waktu sudah menunjukkan hampir pukul lima pagi. Sebentar lagi aktivitas di sekitarnya akan dimulai. Shilla bersenandung kecil sambil menuju
meja tempatnya menaruh sandwich buatannya tasi. Dahinya mengerut mendapati
sebuah bungkusan asing yang bertengger disana. Bungkusan siapa ini ? kok ada
disini ? apa isinya ?

Akhirnya rasa keingintahuan mengalahkan pertimbangan lain Shilla. Ia membuka bungkusan biru itu dan terkesiap mendapati benda yang ada di dalamnya. Sepasang baterai jam
dan sebuah kunciran bulu biru berlabel merk salah satu toko aksesoris remaja.
Entah kenapa, di otaknya hanya terlintas satu nama. Walau mungkin tidak
mungkin. Pintu pemilik pintu jati berderit tadi. Rio.

*


Kesadaran itu merayap bagai kabut. Bergerak perlahan, lalu tanpa terasa mengaburkan pandangan. Ini yang Patton rasakan kemudian. Kesadaran yang ia takuti namun ternyata ia
harapkan. Ia mendapati bahwa ia sedang menggapai air. Sedetik lalu, ia
merasakannya di ujung jari, tapi sesaat kemudian gadis itu tak disana lagi.

Patton melirik gadis di seblahnya. Yang lagi-lagi, entah keberapa kali untuk pagi ini, menatapi langit cerah diluar dengan kegalauan yang menjadi-jadi. Kegelisahan itu seperti
berkedip-kedip bak mercusuar dari setiap inchi tubuh Shilla. Pasti ada yang
tidak beres.

“Shil ?” kata Patton pelan. Shilla di sebelahnya masih diam, matanya berkedip sekali menandakan kehidupan sambil tetap menatapi luar jendela. Patton menghela nafas lalu
memanggil lebih keras “Shil ..”

“hah ? eh ..” Shilla agak terkejut mendengar namanya dipanggil. Ia buru buru menatap Patton dengan mata sayu “sorry ..”

Patton cuma tersenyum “are you really here ? or am I talking to a shadow ?” Patton menggerak-gerakkan sebelah tangannya iseng ke depan wajah Shilla, seakan mau meyakinkan bahwa
Shilla benar benar di sebelahnya. Ini akhirnya membuat Shilla tertawa kecil,
Patton menghela nafas lega diam-diam.

Patton menghentikan tangannya yang bergerak, ia keudian menatp Shilla lekat-lekat “jujur ya .. elo lagi kenapa sih ?”. Shilla mencubit cubit bibirnya, lalu membuang muka ke
depan. Dia tidak menjawab hingga akhirnya ia menepuk dahi dengan tangannya,
seakan melupakan sesuatu lalu ia merogoh ranselnya.

“tadaaaaa ..” Shilla menyodorkan sebuah Tupperware ke depan wajah Patton saat lampu berubah merah. Patton mengernyit sambil menyentuh pedal rem di kakinya.

“apaan nih ?” tanyanya. Ia mengambil lalu membuka tutup kotak yang disodorkan Shilla dan mendpati .. sepotong sandwich dengan coretan nama P-A-T-T-O-N di atasnya. Ia
tersenyum cerah, memutar kepalanya ke arah Shilla dan berkata “thanks ya ..”

Shilla mengangguk “ aku bakal bikinin kamu sarapan tiap pagi loh ..”

Patton tersenyum, memutuskan menaruh kotak bekal itu di dashboard dan memakannya nanti, karena lampu sudah berubah hijau, ia lalu menyentuh pedal gas dan berkonsentrasi
menyetir. Tak berapa lama, Patton melirik cepat ke arah Shilla dan mendapati
gadis itu tengah melamun lagi.

Patton mendesah. Oke .. pikirnya .. mari kita keluar jalur sebentar .. Patton membanting setirnya ke arah kanan, bukan ke kiri, ke arah sekolah Shilla seharusnya.

Shilla yang sedang melamun tiba-tiba tersadar “Pat ? kita mau kemana ? ini bukan jalan ke sekolahku kan
?”

Patton tersenyum “bukan .. ke sekolah gue juga bukan ..”

“terus ?”

“bolos sekali sekali itu menyehatkan, tahu ..”

*


Jadi di sinilah mereka. Di kawasan pantai berbatu besar di Jakarta Utara. Bukan. Bukan Ancol. Patton tidak se mas-mas-kebelet-pacaran begitu sampai memilih Ancol untuk
tempat nongkrong. Mereka berada di Muara Baru. Kawasan ini sebenarnya tempat
pemancingan dan ada kawasan Pasar Lelang Ikan tak jauh dari sini. Tapi
pemandangan pantai Muara Baru cukup bagus dan belum banyak orang yang tahu tempat
ini, sehingga masih cukup sepi.

“waw ..” kata Shilla. Ia bergegas turun dari mobil dan melangkah ke depan beton yang biasa dijadikan tempat duduk bagi para pemancing. Ia memejamkan mata dan menghirup wangi asin
yang entah kenapa mengingatkannya lagi pada seseorang yang juga tampaknya
mencintai laut. Shilla membiarkan seragam dan rambutnya berkibar kibar ditiup
angin.

Patton melangkah ke sebelah Shilla yang sudah membuka matanya “kayak déjà vu ya ..” kata Patton, membuat Shilla mengerutkan keningnya.

Patton memandang ke laut lepas “kita ngeliat laut berdua lagi .. bedanya kita ga ngeliat laut dari atas balkon .. dan kita sekarang ga lagi pake baju pesta .. tapi ..”

“tapi ?”

“tapi hari ini elo sama galaunya kayak waktu gue nemuin lo di balkon itu .. pertanyaannya adalah .. apakah orang yang sama yang bikin lo begini ?”

Tatapan Shilla tiba tiba mengeras. Ia sebenarnya tidak mau membahas hal ini. Ia menghela nafas, menatap ombak yang bergulung-gulung lalu menjawab pelan.

“melihatnya .. merasakan kehadirannya itu semudah menarik nafas .. bahkan tanpa mencarinya, aku menemukannya dimana-mana .. karena ironisnya .. aku tinggal di tempat
dimana dia tumbuh ..”

Shilla meneruskan “tapi merasakannya .. begitu sulit .. aku mencoba ‘merasakan’nya saat memikirkannya ..,” Shilla menaruh kedua telapak tangannya di dada “sakit sekali
.. disini .. ada yang kosong disini .. kalau memang kepingan puzzle yang hilang
itu dia .. lalu bagaimana ? aku tak tahu bagaimana memasangnya kembali .. aku
belum menemukan perekatnya ..”

Saat itulah kesadaran itu menghantam Patton. Patton menyadari perekat yang dimaksud Shilla. Perekat yang belum ditemukannya itu adalah teka-tekinya sendiri. Bagi Patton, Shilla
sekarang tampak seperti anak kecil yang tengah bimbang karena tidak tahu
bagaimana cara membuat balon menggelembung.

Patton mengulum bibirnya. Apa yang harus dilakukannya sekarang ? membantu Shilla untuk menemukan perekat itu ? atau membiarkan Shilla menemukan kepingan puzzle lain
yang tak perlu memakai perekat ?

“lo tahu ..” kata Patton akhirnya “alam yang tenang kayak gini, bisa menyimpan apa ?”

Patton terus menatap ke depan, tidak menghiraukan Shilla yang sekarang sedang kebingungan menatapnya.

“alam yang tenang kayak gini bisa menyimpan badai .. apakah alam pura pura ga tahu badai akan datang ? atau apa dia emang gak ngerti gimana menunjukkannya pada manusia ?
atau dia emang ga tahu sama sekali ? kita ga akan pernah tahu apa yang
dipikirkan alam ..

“badai itu kekuatan alam yang dahsyat kan ? manusia ga akan pernah tau dengan jelas pemicu badai sebenarnya .. manusia
hanya bisa mengira dengan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki .. tapi yang
jelas badai itu pasti dan semudah itu ia datang tanpa perlu permisi .. saat
badai bisa dilacak .. maka dia pasti bukan badai alam .. tapi badai buatan ..

“cuma Tuhan dan badai itu sendiri yang tahu kapan ia datang .. alam akan menyadari badai itu pada waktunya .. pada saat badai itu di depan mata .. entah alam sudah tahu atau
berpura pura tidak tahu tentang badai itu, lagi lagi kita ga akan pernah tahu
..”

Ucapan Patton ini mungkin seperti racauan orang aneh. Tapi sepertinya Shilla menyadari, Patton membantunya menemukan perekat itu dengan cara memberikan petunjuk. Patton
membekalinya untuk berenang bukan dengan pelampung, tapi dengan mengajarinya
cara menemukan tepian saat ia akan tenggelam.

Shilla terdiam sebentar lalu tiba-tiba berkata “andai aku bisa berpura-pura kalau aku bisa melupakan dia dan teka-tekiku .. tapi .. semakin keras aku menyangkal kehadirannya, aku
semakin menyadari bahwa dia ada”

*


Rio menatap langit-langit kamarnya sambil tidur-tidur ayam di ranjang empuknya. Ia mendesah, berusaha menangkapi bayangan yang melayang-layang di otaknya, di
hatinya, di langit langit kamarnya, dimanapun ia berada.

Cobalah melayang ke tempat lain, Shilla .. batinnya. Rio memukul-mukul udara dengan tangannya berharap sosok itu bisa menghilang. Uuugh
.. Kilat di luar mulai menyambar, tampaknya akan turun hujan sebentar lagi.
Hujan biasanya membuatnya mengantuk. Tapi, Rio
tidak ingin tidur, karena mimpi akan membuat gadis itu semakin nyata, dan
membuat ia semakin memikirkan gadis itu lebih jelas keesokannya.

Ponselnya tiba tiba berbunyi. Rio bangkit dari ranjangnya, meraih ponsel di meja kecil lalu bersandar di kepala ranjang dan membuka pesan yang
masuk.

Keke ?!


Yo, lusa temenin aku ke Welcome Home Party nya papi-mami Aren ya ?

Please please pleaseeee .. I beg you :( :( :(

Sender : Keke 20:53


Ya Tuhan, betapa inginnya Rio menendang jauh-jauh gadis yang terus menempel bagai lintah padanya ini. Dikiranya dengan memasang emoticon
sedih begitu, dia akan luluh apa ?

Rio membanting ponselnya ke ranjang, lalu menangkupkan tangan ke wajahnya. Lebih baik ia membuat kopi agar tidak jatuh tertidur lalu mimpinya dipenuhi sosok bayangan aneh dan nenek
sihir bermulut cabe.

*


Shilla melangkah ke arah pantry. Ia berniat membuat kopi karena dia harus begadang menyelesaikan tugas sekolah yang tidak sempat diselesaikannya sore tadi. Selain itu, perkataan
Patton masih terngiang di otaknya. Patton jelas-jelas memberikannya petunjuk
tersembunyi dari perumpamaan badai itu. Hmm ..

Tapi yang mana jawabannya ? alam-nya ? atau badai- nya ?

Shilla mengerutkan kening saat berjalan mendekati dapur. Ada suara berisik dari sana.
Siapa yang masak malam malam begini ? Chef Dave tidak segila itu sampai
mengobrak ngabrik dapur untuk bereksperimen malam malam.

Shilla bergidik ngeri. Ditambah suara kilat menyambar di luar .. astaga, dia tidak mau ada adegan film Scream malam jumat begini. Shilla meneguk ludah. Ia tidak berani,
tapi terlalu membutuhkan kopi untuk
membuat matanya terjaga.

Kriieeeettt .. Shilla membuka pintu dapur perlahan .. siapa itu ? dengan setelan hitam begitu ? ting .. ting .. ting .. sosok itu sedang mengaduk-aduk sesuatu.

Shilla berjalan pelan, mendekati sosok itu yang belum menyadari bahwa ia baru saja masuk. Shilla menelengkan kepalanya, berusaha melihat siapa itu.

Rio membalikkan badan pada saat Shilla berada 2 meter di belakangnya. Ia sempat terlonjak, lalu menepuk-nepuk dadanya. Bikin kaget saja.

Tapi, Rio tidak berkata apa-apa. Ia sedang berusaha mencari Creamer agar kopinya tidak terlalu pahit. Siapa suruh cuma ada kopi hitam pekat begitu di dapur ini. Shilla pun tidak tahu mau menyapa bagaimana, ia
mengabaikan detak jantungnya yang nakal itu lalu beranjak ke rak dimana kopi
tersimpan. Tinggal satu sachet terakhir.

Sudah berapa lama ia tidak berada satu ruangan dengan Rio seperti ini ?. Rio dan Shilla saling memunggungi. Masing masing dengan kegalauannya sendiri. Tanpa tahu, badai itu akan menghantam sebentar lagi. Rio sudah menemukan creamer dan menuangnya lalu
memutuskan meninggalkan dapur.

Shilla menghela nafas, bersyukur wangi Rio tersamar wangi kopi yang kental, sehingga jantungnya tidak perlu bertambah keras bekerja. Shilla
sudah menuang kopi bubuk ke dalam cangkir dan berniat menuang air panasnya saat
tiba-tiba kilat menyambar terlalu keras. Shilla membalikkan badan, berniat
melihat ke luar jendela dan tanpa sengaja lengannya menggeser cangkir kopi
hingga jatuh berguling dan melayang ke lantai. Praaaang .. Shilla refleks berlutut
untuk membersihkan pecahan cangkir dan pada saat bersamaan, tiba-tiba lampu
dapur berkedip lemah dua kali dan mati. Tidak. Bukan hanya lampu dapur. Semua
lampu di rumah itu mati.

Gawat. Pasti Kilat menyambar steker listrik atau entah apa sehingga memutus arus yang tersambung. Ah .. Shilla benci adegan seperti ini. Shilla berusaha menggeser tubuhnya
untuk berdiri saat “aaaah …” Shilla
mengaduh, ternyata salah satu pecahan gelas itu pasti menyobek dengkulnya.

“ssssss .. aaaaaahh .. au ..” Shilla menggeser tubuhnya, berusaha mundur, mengira-ngira tempat yang tidak terserak pecahan cangkirnya.

Shilla mengusap bagian sekitar lukanya. Dia sulit berdiri kecuali ..

Sebuah tangan meraih tangan kirinya dan sebuah tangan lain melingkar di punggungnya, menopangnya untuk berdiri. Rio memapah Shilla, ia
melingkarkan tangan Shilla yang tadi ia pegangi ke bahunya.

“bodoh ..” gumamnya pelan.

Mendengar suara itu, seakan ia dan Rio tidak pernah menjauh. Shilla menarik nafas, lalu baru mendapati bahwa ia berada dalam harum ini lagi. Wangi
parfum Aigner bercampur harum maskulin alami Rio.
Shilla merasakan pipinya memanas dan memerah. Ternyata gelap, sedikit membantu
juga. Menyamarkan agar jangan sampai Rio tahu
ia tersipu.

“kaki lo luka ?” Tanya Rio

“aduh ..” tiba-tiba Shilla baru merasakan luka di kakinya lagi.

Rio tertawa tertahan sambil terus memapah Shilla yang terpincang-pincang. Ah, Shilla ingin sekali melihat tawa tertahan Rio itu. Kedengarannya
begitu .. tampan. Bisakah ketampanan di dengar ? mungkin bisa bagi Shilla yang
otaknya sedang bermasalah, diliputi badainya.

Rio memapah Shilla ke arah halaman belakang. Ia menggeser pintu lalu mendudukan Shilla di teras halaman belakang yang berkanopi sehingga Shilla tidak terkena cipratan hujan
yang mengamuk di luar.

“tunggu ..” Rio pergi ke dalam lagi, meninggalkan Shilla yang tiba tiba terdiam menatapi hujan.

Shilla memandangi hujan tidak percaya. Rio. Rio. Rio. Kenapa sekarang lelaki itu yang mengisi
otaknya. Kebaikan Rio ini. Harum Rio ini.

Dan sosok itu melangkah kembali ke hadapannya. Dari luar, masih ada cahaya samar yang dihasilkan alam. Shilla bisa melihat Rio
membawa kotak P3K dan kopi yang tadi dibuatnya.

Rio meletakkan cangkir kopi nya di meja kecil di pojok teras. Ia lalu berlutut di depan Shilla. Menarik perlahan kaki Shilla yang luka.

“aah ..” kata Shilla pelan.

Rio mengeluarkan kapas dan meneteskan alcohol kesana. Ia menepuk nepuk pelan luka Shilla, mensterilkannya dari bakteri. Lalu Rio mengulum luka Shilla dengan ujung
cottonbud yang sudah dibubuhi obat merah.

Rio meniup niup pelan luka Shilla. Ia membersihkan daerah sekitar luka agar tidak terlalu kotor dengan caranya mengusapnya pelan dengan tissue.

“sakit ya ?” Tanya Rio, lalu meniup-niup luka Shilla lagi.

Shilla ternganga, tidak menyangka Rio akan mengobatinya begini, Rio terlihat manis sekali. Wajahnya kembali memanas, Shilla menunduk.

Rio menepuk pelan daerah di dekat luka Shilla, bangun sebentar mengambil kopinya dan duduk kembali di sebelah Shilla.

Tiba-tiba Shilla ingin bertanya pada Rio. Seseorang yang pernah dianggapnya sebagai Ayi. Kini, Rio juga menolongnya
seperti Ayi waktu itu.

“menurut kamu , apa yang harus kita lakukan pada masa lalu yang selalu terus mendesak ke permukaan ?” Tanya Shilla

Rio terkesiap. Masa lalu untuknya berarti Mai. Shilla seperti menanyakan padanya hal yang juga menjadi pertanyaan untuk Rio sendiri.

“melupakannya ..” ya, Mai mungkin ini saatnya untuk melupakanmu .. “saat masa lalu itu tak begitu penting ..,” bukan, Mai bukan berarti kau tidak penting, hanya .. “apalagi saat
elo sudah menemukan apa yang bisa menggantikan masa lalu itu,” dan aku sudah
menemukan penggantimu, Mai.

“karena kau tidak akan bisa memilih masa lalu dan masa depan pada waktu bersamaan kan ?” Tanya Shilla, berusaha meyakinkan pilihannya sendiri.

“ya, tepat seperti itu” sahut Rio sambil tersenyum, tanpa sadar Rio meletakkan tangannya ke kepala Shilla, mengusap-ngusapnya. Tak berapa lama, ia
menjatuhkan tangannya, meraih cangkir dengan kedua tangannya.

Shilla menatap Rio tak percaya, tak percaya atas semua yang terjadi. Rio menyadari Shilla terkejut akan perbuatannya, tapi dia malah meniup-niup kopinya.

“kenapa ?” suara Shilla agak bergetar, kebimbangannya memuncak. Rio menatap Shilla dan mengerutkan keningnya, pertanda ia tidak mengerti kenapa
yang dimaksud Shilla.

“kenapa kamu ngelakuin ini semua ? seakan sebelumnya kita ga pernah diem-dieman ?”

Rio menurunkan kopi yang baru akan ia sentuhkan ke bibirnya. Ia berfikir, pentingkah memaksa Shilla mengetahui hatinya lagi ? ternyata, ia sudah merasa cukup kalau Shilla bahagia.
Melepas kenangannya akan Mai dan membiarkan Shilla bahagia, bukankah itu hasil
terbaik hidupnya ?

“ga kenapa-napa ..” jawab Rio akhirnya, Rio tersenyum pelan “mau kopi ?” ia menyodorkan cangkir kopi nya pada Shilla.

Shilla harus tahu apa yang ditutupi Rio ini, sesuatu dibalik jawabannya soal masa lalu itu tadi, siapa yang sudah menggantikan masa lalunya.
Ia meraih cangkir kopi itu lalu tanpa segan meminumnya. Ia menaruh cangkir itu
di antara mereka berdua.

“ga kenapa kenapa gimana maksud kamu ? buat aku itu kenapa napa ..” Shilla merasakan nada bicaranya meninggi, ia tidak tahan lagi pada teka-teki ini. Dan sikap Rio membuatnya makin bingung. Rio
seperti sedang menyembunyikan jawaban tersembunyi itu darinya.

Rio jadi bingung. Kenapa gadis ini sebenarnya.

“itu cuma .. hmm .. kesalahpahaman kecil aja .. kita bisa jadi teman lagi kan ?” tawar Rio sambil tersenyum miring. Senyum
favorit Shilla. Tapi senyuman itu tidak menenangkannya, malah membuat Shilla
makin bingung dan meledak.

“aku ga percaya kalo ga ada apa apa , yo ..” kata Shilla.

Rio mendesah. Lalu apa yang harus dilakukannya ? meneriakkan pada Shilla tentang hatinya dan membuat gadis ini semakin bingung ?

“mau lo apa, Shil ? lo mau tahu tentang apa ?” kata Rio pelan.

“kenapa kamu diemin aku ? dan kenapa kamu malah ada disini nolongin aku ?” Tanya Shilla mendesak.

“itu cuma salah paham kecil aja .. nothing important ..” kata Rio

“mungkin itu ga penting buat kamu .. tapi penting buat aku .. KAMU GA TAHU SEBERAPA SERING AKU MEMIKIRKAN DAN MENCARI JAWABANNYA SENDIRI, SEBERAPA KEBINGUNGAN INI MEMECAHKAN
OTAKKU DAN …”

“DAN LO GA TAHU APA APA SOAL OTAK YANG MAU MELEDAK, SHIL .. LO GA TAHU KAN SEBERAPA SERING GUE MIKIRIN ELO .. SBERAPA GUE BERHARAP LO TAHU PERASAAN GUE DAN LO BISA MEMBALASNYA , LO JUGA GA TAHU
SEBERAPA GUE …” Rio membekap mulutnya, menyadari
ia sudah berkata terlalu banyak.

Shilla menatapnya “seberapa kamu ?”

Rio menghela nafas pelan. Toh tidak ada ruginya dikatakan sekarang “seberapa gue sayang sama elo, Shil ..” jawab Rio akhirnya, menuntaskan pernyataannya.

Shilla mematung, tidak percaya itu jawaban yang dilontarkan Rio.

Rio mendesah “gue tahu lo ga akan semudah ini nerima jawaban macam begini dari gue ..” Rio mengusap pelan wajah gadis yang disayanginya itu.

“gue ga akan minta jawaban dari elo, Shil .. dimanapun dan sama siapapun elo bahagia saat ini, disana hati gue akan selalu ngejaga elo ..”

Rio bangun, tersenyum lalu mencium puncak kepala Shilla yang masih terdiam tidak percaya. Rio menepuk pelan kepala Shilla, lalu berjalan pelan ke dalam rumah, meninggalkan Shilla dan pikirannya.

Teka-teki itu terbuka.

Patton, aku menemukan badai itu akhirnya. Yang mereka sebut cinta .. itu yang aku rasakan pada Rio, kan ?

*


Rio menghela nafas dan menelusuri daftar kontaknya. Memencet satu nama, menekan tombol ‘yes’ dan mendekatkan ponsel itu ke telinganya ..

“Ke ? besok kita ketemu oke ? gue mau bicara sama elo ..”



Then, part 14 AKHIRNYAAAAA… wkwkw .. pada suka kah part ini ? saya sih suka :P *mintaditimpuk .. tapi lumayan dong panjang begini hahaahha .. semoga penantian kalian
terbalas *halah .. love you all <3 terimakasih sudah sering mendoakan PKL ku
hehehe :)

Next Part >>