Friday, December 31, 2010

Hujan Kala Itu (Sebuah Cerita yang dikalahkan)

Hujan selalu menyisakan percikan kenangan, yang tetap tak tersamar pelangi setelahnya. Sheila mendesah lalu meraih notes kecilnya, berniat mengalirkan barisan kata yang berkejaran di benaknya lewat ujung pena, tak peduli dengan guncangan kendaraan yang sedang dinaikinya.

“Dalam deru bus antarkota, aku menangkapi bayangannya yang masih menari di luar sana. Tersembunyi dalam titik-titik air yang mengetuk kaca jendela. Entah kapan aku bisa mengenyahkannya, ya tentang kamu dan hujan kala itu ..”

*
Hujan kala itu, mengawali kisah tentangnya.

‘Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api.
Yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan.
Yang menjadikannya tiada.’


Pagi itu ditemani dendang rintik hujan, dikawani kesendirian dan di dalam ruang mading yang sarat kesunyian, Sheila sedang duduk sambil menekuri sehelai kertas puisi saduran tak bertuan yang tiba-tiba tergeletak pasrah di meja panjang ruangan. “Keren,” ucapnya pelan.

“Sapardi Djoko Damono.”

Sheila hampir mencelat dari kursinya karena kaget. Ia mengangkat wajah dan terkejut mendapati siapa yang barusan bersuara.

Pemuda itu berdiri di belakang Sheila, ikut mengamati kertas puisi yang sama. Tetesan air bergelayut di ujung-ujung rambutnya. Seragam yang sedikit basah menyurukkan wangi hujan dan harum maskulin alaminya, sejenak membuat Sheila terpana. Dia Aryo Junio, kapten tim basket putra SMA mereka yang kata teman-temannya amat berbakat dan tampan. Kadang Sheila memandangi Ryo (sapaan akrab Aryo) dari kejauhan, kemudian selalu bertanya tak mengerti kenapa pemuda ‘biasa saja’ ini begitu dielu-elukan.

Ryo menyunggingkan senyum miring “Itu Aku Ingin-nya Sapardi Djoko Damono kan ? larik itu termasuk dalam buku kumpulan puisi yang judulnya Hujan Bulan Juni. Keren banget tuh.” Celotehnya lancar lalu menarik bangku di ujung lain meja dan duduk disana.

Sheila cuma melongo, dia bahkan belum pernah mendengar nama penyair tadi kalau Ryo tidak menyebutnya, karena di kertas puisi itu pun tak tertulis siapa pembuatnya. Sheila juga tidak menyangka, Ryo yang selalu mengundang jeritan histeris gadis-gadis saat beraksi di lapangan itu ternyata ‘geek at heart’ juga.

“Be-te-we. Gue numpang tidur disini, boleh kan ? Ekskul basket juga ga bakal ada nih kalau hujan begini..” Ucapan ini toh hanya basa-basi. Tanpa menunggu jawaban si penunggu ruang, Ryo langsung melipat kedua tangannya di atas meja lalu membenamkan wajah disana.

Sheila sedikit bingung, namun tanpa sadar ia tidak bisa mengalihkan pandangan dari pemuda rupawan yang saat itu mulai terlelap dalam nafas teratur.

*
Hujan kala itu, meniupkan perubahan.

Kunjungan singkat itu terhelat tiap kali hujan membisiki pagi. Saat petir menyambar kencang dan alam mulai menumpahkan tangisnya, Sheila tahu pemuda itu akan kembali.
Tak lama, ceklikan di engsel pintu membuktikan hipotesisnya.

“Kenapa ya hujan terus ?” Ryo melontarkan pertanyaan retoris yang dijawab Sheila dengan bahu terangkat. Tanya saja Tuhan, batinnya sarkatis.

Sheila sudah mulai hafal rutinitas Ryo setelah ini. Sementara dirinya menyortir artikel-artikel untuk mading mingguan, pemuda itu akan merutuk sebentar soal kenapa pelatihnya tidak memindahkan jadwal ekskul basket menjelang turnamen dari jam ke nol (sebelum upacara dan ma-pel dimulai) ke jam pulang sekolah (mengingat hujan selalu merusak waktu latihan pagi), lalu ia akan menduduki bangku yang itu-itu saja, melipat kedua tangan di atas meja, membenamkan wajah dan mendengkur.

Tapi pagi itu, Ryo tergelitik untuk menanyakan sesuatu setelah menarik bangku “Udah baca kumpulan puisi yang waktu itu gue bilang, belom ?”

Sheila menaikkan sebelah alis, mengira seharusnya Ryo sudah melayang di alam mimpi. Ia menggeleng.

“Sayang banget,” Ryo berdecak “Besok gue pinjemin deh. Itung-itung balesan buat akomodasi gratis tiap pagi nih. Oke ? Gue tidur dulu ya.” Tukasnya lalu melanjutkan prosedur tidur paginya yang tertunda.

Sheila mengerutkan kening. Dasar aneh.

*
Hujan kala itu, menadakan seuntai harapan.

“Lo suka nulis puisi ?” Ryo mengangkat tinggi-tinggi kertas yang terisi penuh oleh tulisan tangan Sheila, sementara si empunya sedang berusaha merebut kembali kertasnya.

“Ini buat konsumsi pribadi,” Rutuk Sheila pelan. Sikapnya memang cenderung introvert, tapi bukan itu sesungguhnya alas an kenapa ia tidak menunjukkan hobinya. Ia hanya merasa buah karyanya belum pantas dipublikasikan. Dan pemuda rese ini malah mengerjainya. Serius deh, dilihat dari sisi mananya sih Ryo ini dibilang keren ? Di mata Sheila, Ryo hanyalah pemuda pengantuk tukang tidur yang diam-diam mencintai puisi setengah mati.

“Ini keren banget !” kata Ryo “Yah emang belum sekeren Sapardi sih hehe ..” Ryo terkekeh, lalu tiba-tiba menatap Sheila serius.

“Tapi lo kan punya sarana ini .. Maksud gue, mading ini loh.. Kenapa ga dipajang ? Perasaan kerjaan lo cuma nyortir doang kayak tukang pos ?”

Sheila mendesah “Job-desc gue kan cuma editor, editor yang harus selalu dateng paling pagi buat milihin bahan,” katanya, lalu mencuri kembali kertas itu dan memasukkannya ke dalam tas. “Gue ga pede lagian.”

Ryo berdecak, lalu berjalan mendekati Sheila. Ia mengangkat dagu Sheila dengan telunjuknya, tanpa tahu bahwa sebuah rasa asing baru saja menyalip hati gadis yang sedang dipandanginya.

Ryo lalu meletakkan kedua tangannya di bahu Sheila, melesakkan tiap inci harapan dalam tuturnya “Lo bakal jadi penyair terkenal suatu saat nanti dan gue akan ada disana, nonton lo di baris pertama Teater Salihara. Don’t give up, Sheila !”

*
Hujan kala itu, menebalkan angan.

“Tumben ga tidur ?” Sambil merapikan tumpukan artikel issue mnggu lalu. Sheila berpura-pura tak acuh, seakan hanya bertanya sepintas, saat melihat Ryo bertopang dagu dan mengetukkan jarinya dengan gelisah.

Sheila sudah terlalu terbiasa dengan kehadiran Ryo yang selalu diiringi orchestra rintikan air di ruang madingnya, dan terlalu menikmati ketukan tak beraturan yang membuncah di hatinya saat melihat pemuda itu.

Ryo masih sibuk berfikir hingga tak mendengar ucapan Sheila, lalu menggumam agak keras.

“Emang sekarang beneran jaman emansipasi wanita ya ?”

Sheila mengangkat bahu. Lama-lama terlatih mendengar celetukan Ryo yang tidak biasa.
“Gue ditembak,” kata Ryo lagi.

Mau tak mau Sheila melongo “Hah ?”

Ryo menggaruk kepalanya salah tingkah “Gimana dong ya ?”

“Kalau suka, terima lah. Ga suka, ya tolak.” Jawab Sheila kalem, walau hatinya ketar-ketir setegah mati. Harusnya dia sadar, Ryo itu memang sasaran empuk gadis-gadis cantik.

“Gue ga suka sih,”

Sheila menghela nafas lega diam-diam “Kenapa ?”

“Bukan tipe gue aja..”

Sheila mengangkat alis, lalu baru ingat Ryo pernah bercerita bahwa ia belum pernah punya hubungan khusus dengan perempuan walau banyak yang mengejarnya. “Emang tipe lo kayak gimana ?”

“Yang kalem, ga kebanyakan dandan, ga kebanyakan cekikikan sama jejeritan.” Ryo menatapnya “Kayak lo gitu deh,” lanjtunya lalu tertawa pelan.

Sheila terdiam, baru menyadari pemuda di hadapannya memiliki lesung pipi yang menawan.

*
Hujan kala itu, membawa seutas pesan dan segenggam goresan.

Meski kebenaran itu hanya terkungkung sampai batas pintu ruang mading, Sheila tahu tak pernah ada salahnya untuk berharap. Entah bagaimana, harapan itu muncul dan mengembang tak terkendali. Harapan agar Ryo selalu menyemangati mimpinya, harapan agar Ryo terus mencekokinya dengan biografi lengkap Sapardi Djoko Damono walau sebenarnya Sheila sudah bosan, harapan agar Ryo selalu menertawakan kepolosannya. Praktisnya, harapan agar Ryo (Ryo dengan sosok berbeda yang hanya ditunjukkannya pada Sheila) bisa terus disampingnya.

Hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu soal rutinitas itu, rutinitas ‘privat’ –dalam pandangan Sheila- pagi mereka. Mungkin karena Sheila memang jarang berkeliaran di sekolah, ia tak pernah bertemu Ryo di samping jam rutin itu dan gadis itu pun tak pernah tahu ada prahara yang mengintipnya di luar sana.

Sheila mengenal Jelita sepintas lalu. Jelita adalah gadis sederhana, dua bulan lalu pindah dari Jepara, dengan kepintarannya melanglang mimpi jauh-jauh untuk mendapat beasiswa di Jakarta. Di SMA mereka.

Dan kini Sheila mendapat tambahan satu fakta, fakta yang didengarnya di pagi yang mendung itu, dari seorang pemuda yang menghampirinya dengan wajah kalut.

“Ya ampun, gue ga pernah ngerasin debar kayak gini, Sheil.” Ryo mondar-mandir. “Rasanya serba salah kalo dia lewat. Kayak ‘Sajak Kecil Tentang Cinta’nya eyang Sapardi. Mencintai angin harus menjadi suit, Mencintai air harus menjadi ricik, Mencintai gunung harus menjadi terjal, Mencintai …

Sheila merasa ucapan Ryo berdenging di telinganya lantas menghilang tak terdengar. Ada perasaan tertusuk yang merayapi hatinya. Cakrawalanya seperti runtuh. Cakrawala yang terbentuk dari tiap rinai hujan yang selalu menemani pertemuan diam-diam mereka.

“…tapi, ujungnya bagus banget, Sheil. MencintaiMu (mu) harus menjadi aku. Ya ampun, gue kedengeran cewek banget ga sih ? Masalahnya, gue bisa diketawain kalo cerita begini sama anak-anak basket. Lo kan cewek, bantu gue deketin dia dong ..”

Sheila mendesah tak kentara. Menyesal kenapa dia harus menyukai pemuda tak peka begini sih. Sheila perlahan memasang plester luka di ujung ujung bibirnya yang kini tertarik ke atas. “Gue ga bisa bantu apa-apa. Tapiii kenapa lo ga coba mulai dengan puisi aja ?”

*
Hujan kala itu, dia tidak datang.

Sheila menatapi jarum jam besar di dinding ruang mading untuk kesekian kali, dan merasa dadanya sesak. Sudah lewat lima belas menit. Ia menunduk pelan, tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya. Pemuda itu takkan datang lagi, untuk kelima kalinya di pagi berhujan yang telah terlewat seperti ini. Ia pun tak pernah kembali, di hari-hari mendatang yang segera hilang lalu teronggok mati.

*
Hujan kala itu, setelah tiga bulan tanpa alasan untuk bertahan.

Sorak-sorai dan semprotan pylox mewarnai kemeriahan pengumuman kelulusan. Disertai berkah tak terhingga yang dihadiahkan Tuhan bagi perjuangan semua orang, Hujan. Semua melepaskan atribut gengsi dan mulai menari di bawah rintikan yang kian membesar.

Sheila tidak berniat untuk ikut dalam pertunjukan missal itu. Ia harus cepat pulang karena sejak tadi Bunda menerornya untuk segera sampai rumah. Tak ada jalan lain kalau ia tidak menerobos hujan.

Sheila berlari kecil, guyuran air mengaburkan pandangan hingga tak sengaja menabrak seseorang yang tengah melintas.

“Sheila !” suara baritone dan wangi hujan yang khas itu.

“Hei, Yo !” Sheila mengangguk sejenak pada sosok kabur Ryo, berusaha menahan mulut utnuk tidak bertanya kenapa Ryo tak pernah menemuinya lagi. “So .. sorry gue duluan ..” Sheila berusaha menghindar dan melewati Ryo, tepat saat tangan kokoh pemuda itu menyambarnya.

Sheila membalikan badannya dan terperanjat saat Ryo memeluknya kuat-kuat. Tak lama, Ryo melepasnya, lalu meletakkan tangan di kedua bahunya dan menyambar mata gadis itu.

Sheila tak bisa lagi menghardik getaran yang menjalar di jantungnya. Diam-diam ia masih bertahan untuk Ryo. Sekadar berharap dalam gelap.

“Sheil, gue tahu gue gila. Tapi gue … gue .. gue baru sadar sesuatu .. ternyata ..”

Sheila mengangguk pelan, menunggu kelanjutan ucapan Ryo, pemuda itu terlihat berseri.

“Ternyata gue sudah jatuh terlalu dalam buat Ita. Gue mau nembak Ita, Sheil. Tiga bulan pendekatan ini udah ngeyakinin gue. Lo tahu, tiap pagi gue selalu datengin dia di kelasnya. Dia selalu dateng paling pagi. Hehe. Gue baru nemuin orang yang ga bosen sama ocehan gue soal Sapardi selain lo.”

Sheila menyunggingkan senyum lebar saat perasaan sakit menyesahnya lalu menyesak dada dan perutnya, matanya memanas. Sebutir air mata menari di wajahnya, terkamuflase tetesan air hujan yang sudah terlebih dulu disana.

“Dan lo tahu, puisi apa yang bakal gue bacain pas nembak dia ? Aku Ingin-nya Sapardi, Sheil ..” Ryo mengguncang bahunya “Kayak waktu kita pertama ketemu itu, lo inget kan ?”

Sheila tersenyum makin lebar saat air matanya dan air mata alam berlomba utnuk menjadi yang paling deras. “Bagus banget, Yo ! Bagus banget !”

“Lo emang temen terbaik gue, Sheil ! sumpah. Meski kita cuma ketemu beberapa puluh menit sehari, gue ngerasa nyambung sama lo. Lebih nyambung dari temen-temen cowok gue, thanks buat semuanya.”

Ryo mendekap Sheila lagi “Anyway, gue masih tetep mau nonton lo di Salihara. Duduk di baris depan sama Ita. Hehehe” Sheila menganggukan kepalanya di bahu Ryo dan membiarkan dirinya terbawa dalam hujan kala itu, hujan terakhirnya bersama Ryo. Hujan yang menampar dirinya, bahwa ia masih dan hanyalah seorang gadis pemimpi sederhana yang ditemukan secara tak sengaja di ruang mading yang sepi, yang mencintai lelaki perutuk hujan itu dalam diam.

*
Hujan kali ini, tak ada lagi dia.

Sheila merogoh daypack-nya, mengeluarkan ponsel dan membaca pesan singkat dari Ryo yang berisi undangan perayaan peresmian hubungannya dengan Jelita. Hari ini dan dia takkan ada disana. Takdir membawanya untuk meraih beasiswa dari sebuah institute sastra ternama di kota Bandung. Inilah warta gembira yang diberitakan menggebu oleh Bundanya di hari kelulusannya waktu itu.

Sheila sengaja memilih jalur darat dengan bus antarkota, untuk meminjam waktu dan mengutangi masa. Waktu yang diharapnya dapat dikembalikan dengan kenangan yang sudah terlupa. Ia kembali menekuri notes kecilnya, mengahpus delapan kata terakhir dan mulai menulis lagi.

“Dalam deru bus antarkota, aku menangkapi bayangannya yang masih menari di luar sana. Tersembunyi dalam titik-titik air yang mengetuk kaca jendela. Entah kapan aku bisa mengenyahkannya. Aku hanya berharap kisah ini akan terlupa, dan cerita ini akan menghilang. Seiring dengan gugus mentari yang tertelan cahaya bintang, tersesat di sela padang, tersamabar ilalang. Tertinggal jauh .. jauh di belakang.”

Jakarta, Jumat 12 November 2010
(Sebuah cerita yang dikalahkan)



Untuk Emmanuela Yudit Saron, Angeline Gunawan dan Meliyanti yang sudah pernah membaca kisah sederhana di atas tadi. Ternyata tekanan tinta di kertas ini belum sekuat itu untuk bisa menembus bata lain yang terlalu kuat berdiri.

Tapi paling tidak kuas ini takkan menyerah lantas berlari. Ia bahkan yakin bisa mengalahkan baja suatu hari nanti c;

Monday, December 20, 2010

Musikal Laskar Pelangi, Magically Stunning ! (re-posted review)

Kemarin gue sempet posting review ini, terus gue hapus karena ragu takut ga boleh dan sekarang gue posting lagi karena katanya akun twitter MLP juga udah retweet update gue soal review ini *maafsayalabil* enjoy ! c;

The truth is .. gue baru pertama kali nonton yang namanya Teater Musikal. I mean, teater musikal yang bener bener di gedung teater asli bukan drama musikal musikalan alias abal abal (mehehehe) yang biasa ditampilin kalo ada event apa gitu di sekolah -,-

Nah, jadi ceritanya Musikal 'beneran' pertama yang gue tonton setelah 17 tahun berpijak di tanah ini *hiperbol* adalah yak *drumrole* tidak lain dan tidak bukaaaaan *jeng jeng jeng* Musikal Laskar Pelangi (which will be showed from 17th of Dec this year until 9th of Jan next year c:) di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Iyaaaa teater yang baru diresmiin kemaren itu loh.

Awalnya motivasi gue dan ketiga temen gue : Ka Mely, Anind sama Prima (hai hai c;) buat nonton Musikal ini adalah karena ada idola idola kita gitu loh disini. Secara kami adalah segelintir dari jutaan ICL (idolaCilikLovers) mehehe. Mulanya karena MLP ini udah gembar gembor banget ya kan dari beberapa bulan lalu, dan karena kita udah tahu bakal ada Gabriel, Ashilla, Patton dan Bastian (yang adalah jebolan IdolaCilik) kita jadi semangat '45 banget buat cari dan beli tiket di tanggal yang ada anak IdolaCiliknya.


Nah, pilihan pun jatuh di tanggal 18 Desember kemarin yang cast list nya adalah seperti ini :

Sabtu, 18 Desember 2010

Matinee Show – 14:00 WIB



MUSLIMAH : Eka Deli

IKAL : Kelvin Joshua

LINTANG : Patton Otlivio L.

MAHAR : Daffa Eriyanda

SAHARA : Ashilla Zahrantiara

KUCAI : Dicky B. Raymardi

BOREK : Billy Titus

SYAHDAN : Willy Jackson

TRAPANI : Iqbaal Dhiafakhri R.

AKIONG : Nathanael Hendrianto

HARUN : Bramantya Dwipramadya

PAK HARFAN : Iyoq Kusdini

PAK BAKRI : Haikal

IKAL DEWASA : Nino Prabowo

dan

ENSEMBLE WARGA KAMPONG GANTONG –

Theatre Company Musikal Laskar Pelangi



note : yang gue bold adalah anak IdolaCilik hehe



Dan ternyata motivasi kita yang mulanya cuma untuk melihat anak-anak Idola Cilik aja diganjar dengan sesuatu yang diluar bayangan, yang sampai pada saat kita keluar dari ruangan pun kita masih terbengong-bengong dan bilang "Sumpah ini kita bayar segitu ga ada apa-apanya dengan yang tdi kita liat." Kami berempat pun melangkah keluar dengan wajah agak-agak terpesona bin autis. (mehehehe)

Oke gue pikir cukup kali yeee latar belakang dari gue. Sekarang gue mau nyoba review teater musikal yang 'ah-mazing' sangat ini, kayak sekarang kan kayaknya lagi happening ya review-review gitu hehe berhubung gue pemula yah maaf kalo agak gimana gitu (SFX : Woi kelamaaaaan preambule nyaaa)

Ok, check it out : (ehm ehm harus formal ..)

Musikal Laskar Pelangi digawangi oleh 'pejabat-pejabat' ternama dalam bidangnya masing-masing. Riri Riza (sutradara), Mira Lesmana (produser, naskah, lirik lagu), Erwin Gutawa (musik & komposer), Jay Subiakto (desain artistik), Toto Arto (produser), Hartati (Koreografer) adalah beberapa di antaranya. Riri Riza dan Mira Lesmana berdua tak lain tak bukan juga merupakan director dan producer dari Laskar Pelangi serta Sang Pemimpi The Movie. Diadaptasi dari salah satu serial buku terlaris yang sama dari novelis cerdas Andrea Hirata, kini mereka bertanggungjawab pula untuk menyajikan Laskar Pelangi dalam format baru : Teater Musikal. Dibagi dalam 2 babak/session, penonton takkan berhenti ternganga menyaksikan kemegahan dan kemagisan dari pertunjukan yang ditampilkan oleh lebih kurang 150 pemain berbakat ini, yang bisa disandingkan dengan West End bahkan Broadway !

Gue akan mencoba meringkas Judul-judul adegan per babak (yang setelah gue pikir pikir ga akan gue tambahin soal bocoran lagunya muahahahaha) *kabur* *gamaujadispoilertotal* *capejadiformal* -,-


Babak I :

*Overture
Adegan 1 : Inilah Kampong Gantong (Ikal Dewasa)
Adegan 2 : Menanti 10 Murid (Memulai Flashback)
Adegan 3 : 5 Tahun Kemudian
Adegan 4 : Pemilihan Ketua Kelas
Adegan 5 : Lintang
Adegan 6 : Kelas Pak Harfan
Adegan 7 : Toko Sinar Harapan
Adegan 8 : Pak Bakri
Adegan 9 : Belajar Di Luar Kelas
Adegan 10: Karnaval
*Intermission (20 minutes break time)


for :

- Adegan 1 dibuka oleh Cowok-cowok dari Theatre Company yang menurut gue pas banget sebagai awalan (kuli-kuli dan satpam PN Timah). Entah kenapa gue merinding sendiri liat kekompakan tarian nan gagah dan paduan suara tenor-bariton-bass mereka mereka itu.

- Di Adegan 'Kelas Pak Harfan' ada yang membuat gue (dan gue yakin semua penonton berdecak kagum), adegan ini adalah waktu Pak Harfan bercerita di kelas LP, tiba-tiba turun frontscreen (layar translucent yang menutupi bagian depan bak tirai panggung) dan saat Pak harfan menggerakkan tangan untuk menulis di 'papan tulis' itu muncullah titik-titik biru yang menggeliat-geliut sehingga *abrakadabra* muncullah gambar menakjubkan tentang Perang Badar (whatev' soal teknologi yang namanya proyeksi, buat gue ini magis abis sumpah)

- Aktingnya Ikal saat jatuh cinta sama 'Jari jari Cantik' si Aling bener bener 'aww' banget. Pake ada confetti segala pula dan lighting panggung langsung jadi pinky-pinky gitu muahahaha. Kalo kata anak anak sekarang "unyu unyu benjeeeet G1t03 L0o0cHh" (bacanya tolong sok imut, terimakasih) dan seriously, i can't stop humming the beautiful soundtrack from this scene.

- Gimmick-gimmick yang ngundang tawa semua orang : sepasang kambing beneran yang nginep di SD Muhammadiyah, ibu bersasak tinggi dan berkipas bulu merah nan angkuh yang bikin keki, Aling tahu tahu muncul di salah satu scene sampe Ikal mau ngejar tapi ditahan temen-temennya sampe sesi garuk-garuk pantat ga pentingnya si pemakai-kutang-dan-boxer-norak-sejati alias Bah Asiong (bokap Aling).

- Efek-efeknya (yang bikin gue bengong norak banget) : Silhoutte Effect waktu Adegan 'Lintang' kalo ga salah. Kayak ada yang capoeira/beladiri (gue juga ga ngarti) gitu deh pokonya sampe semua orang tepuk tangan kenceng banget ; Hujan buatan (tapi air beneran yang turun di panggung) waktu adegan 'Belajar Di Luar Kelas'.

- Duel rampak rebana dari Muhammadiyah dan drumband dari PN Timah, di tengah tengah battle *halah* tiba tiba anak-anak LP pada ber-rampak ria dengan irama melayu yang sangat dangdut dan bikin gue ngakak kenceng.


for :

- Entah kenapa tiba tiba di tengah babak I (kalo ga salah waktu adegan 'Pak Bakri') itu gue merasa agak membosankan gitu -,- dan ibu ibu di sebelah kanan gue pun bisik-bisik sama anaknya "Ini ngebosenin ya."


Babak II :

Adegan 1 : Kuli-Kuli
Adegan 2 : Kapur Lagi, Kapur Lagi
Adegan 3 : Semua Berduka di Timur Belitong
Adegan 4 : Muslimah
Adegan 5 : Cerdas Cermat
Adegan 6 : Perginya Si Cemara Angin
Adegan 7 : Berita Dari Lintang
Adegan 8 : Kembali Ke Kampong Gantong
*Curtain Call


for :

- Lagi-lagi pembuka setelah Intermission itu adalah para Kuli-kuli dari Theater Company yang bener-bener ngebakar semangat penonton untuk kesekian kalinya.

- Di Adegan 'Semua Berduka di Timur Belitong' gue bener bener ngerasain feel 'kesuraman' nya. Dengan sosok sosok misterius bersarung, kuli-kuli dengan bahu lunglai, ibu-ibu yang menampi sejumput (bener-bener cuma seiprit) beras dalam bungkusan kain kumal. Hmmmm keren

- Properti waktu 'Cerdas Cermat' itu benar benar bikin semua penonton duduk tegak di kursinya. Ada papan dengan lampu neon kuning dan merah bak broadway tapi berformat papan skor lomba digital instead of tulisan 'BROADWAY'. Dan lagi-lagi frontscreen translucent ih-waw itu yang muncul waktu Lintang menjabarkan hitungannya yang dibilang jawaban salah sama si ibu-nyolot-sasak-tinggi-pengen-gue-jambak.

- Konsep keren di adegan 'Perginya si Cemara Angin' antara Lintang yang rindu sama ayahnya dan Ikal yang kangen sama sahabat jeniusnya, Lintang. Mereka berdiri di tengah panggung yang sama, hanya berjarak beberapa centi, hanya bersekat udara, tapi mereka tidak saling melihat, tidak saling menyadari keberadaan masing-masing. Saat Ikal melangkah ke titik fokus Lintang, Lintang sendiri mulai menari ke lingkaran cahaya Ikal. Ditambah lagu 'Menanti Ayah, Menanti Lintang' gue merasa lutut gue lemas dan gue cuma bisa bilang "aaaaah" (so sweet)

- Gue harus jujur air mata gue hampir netes saat Lintang nyanyi 'Salam Perpisahan' di adegan 'Berita dari Lintang' gue yang merinding-rinding disko gimana gitu. "Anak sekecil itu, harus menahan beban sebesar itu," (kira-kira begitu) kata Bu Mus. Gue cukup terhenyak saat Ikal meraung melihat punggung Lintang menjauh, mungkin Ikal tahu dia bisa mengejar tubuh itu, tapi kenyataannya dia takkan bisa meraih masa depan untuk Lintang juga toh ? Karena saat itu, dirinya sendiri pun masih menjadi salah satu tikus yang paceklik di lumbung padi.


for :

-Entah kenapa menurut gue waktu Adegan 'Muslimah' itu lagunya kepanjangan -,-

(Sejujurnya gue agak ragu memasukkan poin poin berikut di thumbs-down, tapi ya sudahlah -,- Mungkin karena sutradara dan produsernya sama seperti format layar lebarnya, maka ada beberapa adegan yang gue sampe bilang "Dih, mirip banget sama filmnya" yah kan biar gimana gue meng-expect ada yang beda dong mehehehe *ogahrugi , seperti :)
- Waktu Ikal tahu Aling pergi ke Jakarta tiba-tiba ada barang-barang runtuh.

- Waktu anak anak LP mau ikut lomba cerdas cermat mereka sempat latihan di kelas dan itu sumpah pertanyaannya sama semua kayak di film -,-

- Waktu Bu Mus nemuin Pak Harfan udah meninggal itu posisinya sama-sama lagi tidur menelungkup di meja, bahkan ada termos jadul yang letaknya persis kayak di film -,-


Dibalik kelebihan dan kekurangan diatas, gue takjub banget sama musikal ini, Curtain Call (manggilin pemain satu-satu) pun masih bisa bikin penonton terpingkal-pingkal ngeliat pemain pada heboh mehehehehe.


Sekali lagi gue mau bikin thumbsup and thumbsdown buat keseluruhan acara c;

for :

- Teater Jakarta itu serius keren banget. Meskipun gue di lantai tiga (fyi, gue beli tiket yang kelas 3) tapi keseluruhan main stage bener-bener keliatan jelas dan gue bisa nikmatin acaranya karena sistem pe-nonaktif sinyal yang menajubkan di dalam ruangan. Jadi sewaktu nonton ga akan terganggu deh sama bunyi kling kling ibu sebelah lagi BBM-an, cewek di depan telpon-an ama pacarnya mehehehe.


- Propertinya yang sumpaaaah bikin gue cengo pertama-tama. Gue baru tau kalo properti teater yang segede bagong itu kebanyakan ditarik ke atas. Di MLP sih ya kayaknya cukup sedikit props yang digeser ke kanan-kiri panggung. Propertinya itu bener-bener yang mendetil dan amazing banget lah. Mulai dari gedung beserta pagar kawat PN Timah, Rumah Bu Mus, Bukit bukit jerami kecoklatan, SD miring Muihammadiyah, Rumah Bu Mus, Warung Kopi, Rumah Lintang, Perahu ayah Lintang, gapura 17-an bisa jadi satu buku sendiri kalo gue sebutin semua propsnya -,-

- Lagu dan musiknya yang bener bener menyihir. Melantunkan narasi dari buku setebal Laskar Pelangi lewat aransemen nada yang memukau milik para pemain. Dan lirik-lirik lagunya itu bener-bener edukatif. Ada pelajaran sains dan matematika yang terselip di dalamnya. Kewl c; Alunan-alunan not itu bikin semua penonton pengen joget, pengen ngapalin liriknya biar bisa ikut nyanyi bareng, pengen cepet-cepet beli cd soundtracknya hehehehe.

- Pemain yang kayaknya 'paaaaas' banget terutama Maharnya kali yaaa. Ya ampun sumpah Maharnya beneran petakilan, kutu loncat, ga bisa diem bisa bikin orang geleng-geleng kepala padahal cuma liat gestur isengnya doang.

- Event booknya bagus *poingapenting*



for :

- Sayang banget ga ada bagian Tuk Bayan Tula sama Flo di Musikal ini. Coba kalau ada terutama yang Tuk Bayan Tula, gue bisa ngebayangin gimana spooky tapi kewl-nya setting dan props panggung nanti. Hmm

- Sempet ada suara 'krek' yang cukup kenceng akibat flybar yang agak ngadet mungkin.

- Kayaknya anak-anak LP yang paling disorot cuma Lintang, Ikal, Mahar, Sahara dan Kucai. Gue ngeliatnya si Akiong, Borek, Trapani, Harun, Syahdan cuma pelengkap. (Ga bisa disalahin juga sih karena di buku juga yang paling menonjol Trio Ikal-Lintang-Mahar hehe) -> so why am i bothering ? -,-


Overall, gue bener bener takjub sama musikal ini. Teater Musikal pertama yang gue tonton dan gue rasa ga akan pernah gue lupain hehehe. Gue bener-bener kasih standing ovation buat semua yang terlibat terutama bagian Suppliers Set, Special Effect, Lighting Team, Multimedia Team yang bikin musikal ini sangat worth to watch ! (im not kidding, semua penonton pasti tepuk tangan di setiap pergantian adegan)


Believe me, Lo ga akan nyesel merogoh kocek lo untuk menonton teater musikal ini. Yang gue jabarin ini sangat tidak ada apa-apanya dengan kemagisan yang bakal lo liat sendiri dan bikin lo ber "ooh" dan ber "aaah" tanpa henti.

So, just tighten your shoes lace, go to the nearest ticket box and grab the magic !

note : the image of Teater Jakarta, TIM is courtesy of Musikal Laskar Pelangi's official website ; the cast list is copied from Musikal Laskar Pelangi's facebook account