Ada sebuah rasa berbeda .. saat mengalun bersamanya .. sebuah lagu asing yang membawanya .. meretas asa bersama sang pujangga tawa .. waktu pun terperangkap dalam kaca, karena hadirnya .. dan
timbullah rasa kecewa .. bagi sepotong hati lainnya ..
*
Pesta Ify sudah hampir berakhir, namun Shilla masih berada di balkon yang sama, menatap pemandangan laut yang sama. Namun dengan iklim emosi yang berbeda. Karena, Shilla mau tak mau menyadari bahwa seserpih hatinya
ikut pergi, bersama sosok lelaki tadi.
Shilla memejamkan mata, merasakan tangis yang tersisa di sela bulu matanya. Angina malam berhembus pelan, mengeringkan dua riak sungai yang membekas di pipinya.
Dingin. Sedingin kedua selaput bening mata pencair tembaga yang ditatapinya tadi. Shilla bergidik pelan.
Namun dalam beberapa detik, malam tidak begitu dingin lagi. Shilla menoleh dan mendapati bahwa Patton baru saja datang, membawa atmosfir hangat khas-nya.
Raut wajah dan binar mata Patton tampak cemas. Perlahan, ia melepas dan menyelubungi bahu Shilla dengan jasnya yang cukup besar lalu, dengan berhati hati mengurai kuncir tinggi rambut Shilla sehingga tidak
terhalang baju penghangat barunya.
Shilla menatap Patton melakukan semuanya dalam diam. Dan membiarkan sosok itu ikut beranjak ke sampingnya. Mendengar desau angin yang sama.
Patton menatap lurus ke depan sambil berkata “lo ga dengerin kata kata gue ya ?”
“hah ?” Tanya Shilla spontan.
Patton mengalihkan pandangan kea rah gadis di sebelahnya “buat nikmatin pestanya ?”
“oh,” jawab Shilla pelan “keliatan ya ?”
Patton mengangkat bahu, menoleh ke depan lagi. Melihat pemandangan yang sama dengan Shilla. Ombak yang memukul mukul batu karang.
Hening sejenak, yang akhirnya dipecahkan oleh desahan panjang Shilla. Patton kembali memalingkan wajah kea rah Shilla.
“gue kira …” kata Patton pelan “elo setegar karang ..”
Shilla tersenyum miris, masih memandang ke arah karang “karang pun bisa rapuh kalau diterjang ombak terus ..” jawabnya.
“jadi cowok itu ombaknya ?” Tanya Patton.
Shilla terkejut dengan perkataan Patton barusan, ia memandang cowok itu lekat-lekat dan bertanya serius “keliatan ya ?”
Tak disangka, Patton tertawa kecil “ga ada yang lebih menyedihkan daripada orang yang nanya hal yang sama dalam waktu kurang dari lima menit ..”
Shilla menundukkan kepala. Tahu keadaannya memang teramat menyedihkan.
Patton mendesah “Cuma bercanda,” heran sendiri, kenapa dia begitu peduli pada gadis yang baru di kenalnya kurang dari empat jam yang lalu.
Shilla menarik sudut sudut bibirnya ke atas. Usaha tersenyum yang gagal. Mengenaskan.
“cowok itu siapa ?” Tanya Patton pelan. Siapanya elo ? kenapa dia ninggalin lo disini ? kenapa dia bikin lo nangis ? kenapa dia datang sama cewek lain ? kenapa lo begitu sedih ? rentetan tanda tanya berukuran
gigantis melayang di benak Patton.
“eh, bukan berarti gue mau interfering loh .. cuma …” Patton menggantung kata katanya.
Shilla tersenyum “iya, aku tahu,” katanya melirik kejujuran di mata Patton “tapi cerita ini agak panjang ..”
Shilla mengangkat kepalanya, melihat Patton yang tersenyum kecil, mengetahui bahwa lelaki ini tulus dan mau bersabar mendengarnya.
Shilla menghela nafas. Mungkin terlalu banyak yang ditanggungnya sendiri, terlalu banyak teka teki yang tak mampu di pecahkan hati kecilnya yang malang.
Mungkin, harus ada seseorang untuk berbagi. Seseorang yang bisa membantunya
meng-dekode misteri perasaannya. Dan mungkin, orang itu ada di sebelahnya kini.
“dia ..” maka Shilla pun memulai kisahnya, dari part pertama cerita bersambung yang baru dilewatinya. Tentang bunda nya, Ayi dan senandungnya yang ajaib, tentang pekerjaan barunya (Patton nampak tidak
terganggu dengan hal ini), tentang dimana ia tinggal sekarang, tentang Gabriel,
tentang Rio, tentang petualangan mereka di taman bermain itu, dan tentang ..
Ponsel Patton berdering tepat ketika Shilla akan bercerita tentang benang merah semua masalah ini, hal yang harus dipecahkannya namun tak pernah bisa .. tentang hatinya.
“halo ? iya, fy ? …. Iya iya .. gue sama Shilla .. hah ? oh .. yah, yaudah .. iya, iya bawel ..”
Shilla tertawa kecil mendengar Patton berdebat kecil dengan Ify, walau belum selesai, lega rasanya membagi sebagian pikirannya dengan seseorang. Walau seseorang itu baru dikenalnya beberapa jam yang lalu.
“kenapa ?” Tanya Shilla saat Patton menutup percakapannya.
Patton mengangkat bahu “si birthday girl mau kita buru buru masuk .. ayo ..”
Tanpa sadar, Patton menarik tangan Shilla. Shilla terkejut seperti terkena arus listrik pendek. Mengingat lelaki yang pernah menggenggam tangannya seperti ini. Di masa lalu, di arena permainan perang bintang.
“kok diem ?” Patton terkejut karena Shilla tiba tiba kaku seperti patung. “ayo nanti gue dikutuk Ify nih ..”
Shilla tertawa kecil, mengikuti Patton yang membimbingnya keluar balkon. Berusaha mengacuhkan ingatan yang membuat hatinya seperti disundut korek api.
Tawa Shilla terhenti seketika saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu ballroom yang ditujunya. Rio dan Keke. Nampaknya Keke tengah merajuk, entah apa yang di kesalkannya. Rio memandang Keke tanpa ekspresi, walau matanya seperti
berniat membekap dan mengurung Keke di lubang buaya.
Patton berhenti sejenak, disambut tatapan maut yang tiba tiba diluncurkan Keke, karena melihat Shilla. Rio mau tak mau ikut melotot tanpa ekspresi –lagi- saat melihat Patton mengeratkan
genggamannya ke tangan Shilla dan melihat Shilla terbungkus jas lelaki itu.
Shilla menunduk pelan, melihat Rio .. sedekat itu dengan Keke .. membuat hatinya nyeri .. walau ia tak tahu kenapa .. bukankah dia menyukai Ayi ? menyukai Gabriel ? bukan Rio kan ? bukan kan ?
“ayo, Shil ..” ucap Patton beberapa detik kemudian, menarik tangan Shilla memasuki ballroom, mengacuhkan pandangan mematikan sejoli yang baru mereka lewati.
*
Kediaman Keluarga Haling, 23.55
Your Smile Brings Light Into My Days
The Tought Of You ,Warms My Night
To Hold You In My Arms ,
Even In My Dreams It Feels So Right
Loving You
Rio mengintip dari jendela kamarnya saat deru pelan sebuah Volvo hitam berhenti di depan gerbang rumahnya.
Seorang lelaki bertubuh cukup tinggi keluar dari pintu penegmudi, lalu memutar dan membukakan pintu penumpang. Rio sudah tahu siapa sosok yang akan keluar dari sana. Sosok yang masih mengahantui sudut
pikirannya.
Shilla sudah tidak mengenakan gaun cantiknya. Sebagai gantinya, ia mengenakan blus biru muda dan celana jeans yang dipakainya sewaktu pagi tadi. Meski make upnya sudah dihapus, rambutnya masih terkuncir tinggi ke
atas.
Manis. Rio harus mengakuinya.
Dan kini Rio harus menahan kuat kuat amarahnya. Saat melihat lelkai yang tak dikenalnya itumemluk Shilla dengan satu tangan,(pelukan sahabat biasa untuk orang normal yang melihatnya, Rio sedang tidak ‘normal’
karena hatinya sedang diliputi kecemburuan) berbisik pelan dan menepuk puncak
kepala gadis itu. Dan gadis-nya tertawa ! tertawa karena lelaki itu atau karena
pelukannya ? Ingin sekali Rio memutilasi tangan laki laki di bawah sana.
You Never See The Way I Look Into Your Eyes
You Never Realize The Love I Feel Inside
Pain And Sorrow That Haunted Me ,
Cause Words I've Left Unsaid To You
Shilla baru pulang karena tadi sehabis membantu Ify membereskan beberapa hal kecil. Untung Patton –yang rumahnya searah- bersedia mengantarkannya. Larut malam begini.
Patton mentransfer sedikit atmosfir hangat menenangkan-nya dengan satu pelukan kilat pada Shilla.
“jangan sedih lagi .. atau gue kutuk si Rio nanti ..” ancamnya, lalu ia menepuk puncak kepala gadis itu.
Shilla tertawa kecil, lalu melambai pada Volvo hitam yang semakin menjauh. Shilla berhenti tertawa. Rasa berat kembali melandanya. Entah karena lelah atau karena hal lain. Ia baru ingat belum sempat membicarakan
kelanjutan kisah itu, kelanjutan tentang hati dan perasaannya yang belum
terpecahkan.
Omong omong perasaan, Shilla mendapat feel aneh bahwa seseorang memperhatikannya, saat ia memasuki gerbang. Ia celingak celinguk. Lalu mengangkat kepala ke arah kamar Rio.
Tertutup tirai, tentu saja. Dan hatinya pun kacau lagi. Ia tidak suka pada Rio KAN
?
Shilla mendesah pelan.
Now You Found Someone Else To Love
Deep In My Heart, My Love Won't Fade Away
To Hold U In My Arms
Even In My Dreams It Feels So Right Loving You
Rio menghela nafas pelan. Tidak menyadari Shilla bisa saja mendapatinya sedang mengintai, jika saja ia menutup tirai tiga detik lebih lambat. Gadis itu .. tertawa karena sosok lain .. bukan
dia .. Rio diam mematung. Mungkin … pikirnya
.. memang tidak ada lagi atau memang tak pernah ada tempatnya di hati Shilla.
Rio berfikir sejenak .. Tapi , jika dia sudah tahu hasil terburuk yang akan diraihnya .. buat apa pula ia menyerah ?
You Never See The Way I Look Into Your
Eyes
You Never Realize The Love I Feel
Inside
Pain And Sorrow That Haunted Me ,
Cause Words I've Left Unsaid To You
*
Pagi lagi. Saatnya mentari bersinar di muka bumi. Shilla sudah bangun dari subuh buta. Membantu Bi Okky. Menggantikan seharian kemarin, dimana ia sama sekali tidak bekerja.
Shilla sedang berada di ruang tamu, mengelap meja pajang kaca disana, saat ponselnya berdering menandakan ada pesan baru yang masuk.
Dari Patton. Sms aneh disertai lelucon paginya yang menyejukkan. Shilla tertawa kecil. Tidak menyadari, Rio baru saja turun dari tangga dan memperhatikannya.
Rio menatap Shilla yang sedang tersenyum senyum sendiri. Dia sudah tahu pasti ini berhubungan dengan lelaki kemarin. Bahaya. Siaga satu. Lelaki itu semakin memperbanyak rekor membuat Shilla
tersenyum.
Kalau dipikir pikir, Shilla hanya menampakkan wajah manyun nya yang lucu kalau bersama dirinya. Biarpun lucu, itu manyun, bukan tersenyum. Kacau.
Shilla menunduk pelan saat menyadari Rio memperhatikannya dengan tatpan tak berekspresi. “pagi Tuan,” cicitnya.
Rio mengangkat sebelah alis. Melawan godaan untuk tidak membalas sapaan gadis itu. Gawat. Rio mendesah teramat pelan, hingga tak dapat di dengar oleh Shilla.
Sepertinya sejak kemarin, hatinya sudah tidak dapat dipahit pahitkan lagi. Boleh saja, ia masih memakai topeng ‘dingin’nya. Ada hal lain yang memicunya untuk selalu waswas. Hal yang terlalu kuat untuk diacuhkan, bahkan
dirinya pun tak cukup tangguh untuk membohongi hal itu. Ini semua karena
Patton.
Semakin besar rasa waswas ini membuncah di hatinya, semakin pula Rio menyadari bahwa dia mau mempertahankan Shilla. Dia sudah tahu keputusan apa yang akan diambilnya.
Karena ia tahu hasil terburuknya. Nothing to lose.
Rio menggaruk kepalanya sendiri. Bagaimana dia mau berjuang untuk gadis itu ? meneruskan topengnya atau melawan terang terangan rival barunya ?
Rio mendesah pelan lagi.
*
Patton tersenyum ceria walau ia tak tahu apa yang membuatnya begitu senang, ia mengetukkan jarinya ke setir Volvonya. Menunggu di seberang gerbang hitam menjulang mengerikan. Menunggu-nya.
Patton meraih ponsel di dashboardnya. Mencari satu nama di daftar kontaknya lalu menyentuh tanda ‘yes’ di layar ponselnya.
Tuut .. tuut .. terdengar nada sambung, lalu terdengar suara samar gadis manis yang baru dihafalnya semalaman tadi.
“halo ..”
“halo ?” sapa Patton .. hening sejenak .. tuut .. tuuut .. hah ? Patton menatap ponselnya heran .. kok udah ada yang jawab masih ada nada sambung nya ?
Seseorang mengetuk kaca jendela pintu penumpang. Shilla.
Patton tertawa, ternyata gadis yang baru saja akan di teleponnya, sudah berada di sisi lain mobilnya.
Patton membuka kaca jendela otomatis dan tersenyum “masuk,”
Shilla menurut dan masuk melewati pintu penumpang. Ia tersenyum dan menatap Patton “sebenernya kamu ga perlu repot repot anter aku,”
Patton menggeleng geleng, seakan hal yang diucapkan Shilla salah besar “mumpung searah ,” jawabnya “berangkat sekarang ?”
Shilla mengangguk pelan.
Patton baru saja memutar balik mobilnya, saat Shilla tiba tiba menjerit pelan “buku agenda ku ..”
Patton menggeleng-gelengkan kepala lagi. Menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang hitam itu kini, karena ia sudah memutar balik. “cepet sana ..
takut macet ..”
Shilla mengangguk cepat dan bergegas melangkah melalui gerbang, yang kini tertutup lagi.
Patton mengetuk ngetukkan jarinya lagi ke setir, saat tiba tiba pintu gerbang, yang berada tepat di samping mobilnya membuka otomatis, sebuah sedan melaju cepat,
hampir menabrak mobil Patton.
Mobil Rio berdecit nyaring, akibat usahanya mengerem dadakan. Untung, ia belum melajukan sedannya dengan kecepatan ‘normal’ nya.
Volvo sialan .. rutuk Rio dalam hati. Ia menekan klakson menahan marah, bertanya tanya siapa pemilik Volvo yang masih tak bergerak , menghalangi jalannya.
Sekelebat bayangan menyambar matanya. Shilla, terengah pelan, tidak menyadari Rio berada di dalam sedan yang dilewatinya, tidak menyadari kejadian yang bisa saja naas menimpa Volvo yang baru saja dinaikinya sekarang.
Tunggu, tunggu .. Rio memicingkan mata.
Oh, oh .. Rio baru menyadari mobil siapa di depan mobilnya. Rio tersenyum kecut. Boleh juga membuat Volvo mengilat di depannya ini lecet sedikit. Rio mulai meng-gas mobilnya, spidometer bergerak naik dan
.. tepat saat itu Patton melajukan mobilnya, hanya beberapa meter ke depan,
menyisakan beberapa puluh centi sehingga bagian kanan mobilnya tidak ‘tercium’
moncong mobil Rio..
Sial .. Rio mencibir .. ia membanting setir, membiarkan jarum spidometer tetap naik dan membiarkan mobilnya meraung menjauhi Volvo Patton yang berjalan santai.
Shilla menatap Patton ngeri. Baru sadar kemarahan yang terjadi dari pengendara sedan itu. Rio.
Buat apa Rio semarah itu ? pikir Shilla .. oh, tentu saja karena temperamen Rio yang memang tinggi. Bukan karena dirinya .. hei, memalukan sekali dirinya
berfikir dia penyebab kemarahan Rio. Ia tidak
seberharga itu ..
Shilla sibuk dengan pikirannya sendiri, sehingga tidak menyadari Patton tersenyum kecil melihat Rio meraung marah tadi. Awal yang aneh .. dan provokasi yang cukup baik.
Patton sudah memutuskan sesuatu sejak tadi malam. Dan apapun jalannya, ia harus menggenapkan keputusannya. Karena ini menyangkut gadis di sebelahnya.
Next Part >>
No comments:
Post a Comment